Senin, 09 April 2018

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil 1 & 2

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil 1

Zunus, NU Online | Selasa, 22 Maret 2016 14:01 
Oleh M Kholid Syeirazi 

Belakangan ini, media sosial menjadi ajang kontestasi ideologi keislaman. Berbagai opini wacana Islam begitu cepat menjadi viral, disebarkan melalui kanal-kanal online, menjadi pesan berantai di grup-grup jejaring sosial seperti Facebook dan WhatsApp. Umat Islam tiap hari dibombardir dengan perang dalil. Berbagai isu, seperti ucapan selamat Natal, pemimpin non-muslim, perayaan tahun baru, musik, dan ‘ritual-ritual bid’ah’ menyesaki ruang-ruang publik, riuh rendah di media sosial. Yang pro dan yang kontra sama-sama berhujjah dengan Al-Qur’an dan hadits. Muslim awam, yang tidak punya bassic keilmuan, terombang-ambing dalam debat kusir yang membingungkan. Banyak diantara mereka mengikuti pandangan-pandangan ustadz, di TV dan koran, dengan kapasitas ilmu yang pas-pasan. Mengutip sepotong-dua potong ayat, sebaris-dua baris hadits, para ustadz ini (sebagian dadakan) tampil bak seorang mufti, mengetok palu halal-haram. Sebagian lagi mengerti Islam, tetapi bermadzhab tekstualis: kebenaran hanya ada pada teks. Dan teks itu harus dipahami apa adanya, tak perlu ta’wil, tidak butuh tafsir. Bagaimana dalil harus dipahami? Menyambung Bagian II tulisan “Memahami Islam dan Gerakannya,” narasi ini akan mengurai metode membaca dan mamahami dalil serta panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil) menurut Imam Syafi’i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil, terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas) di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi ‘anarki hukum’ yang ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif. Seseorang tidak boleh menetapkan hukum halal-haram hanya dari sepenggal dalil Al-Qur’an dan hadits, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya dengan dalil lain. Metode Istinbath Imam Syafi’i Menurut Imam Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Saib ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi Manaf), “seseorang selamanya tidak boleh menetapkan hukum halal-haram kecuali berdasarkan ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas”. Imam Syâfi’i, melalui kitab Ar-Risalah, mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi khazanah keilmuan Islam, yaitu ushul fiqih. Ilmu ini memberikan panduan ijtihad bagi seseorang untuk mengambil hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Metode istinbath Imam Syafi’i akan diuraikan secara ringkas, sebagai panduan untuk mengambil hukum dari semua perkara yang berada di ranah ijithadi. Bayan Ilahy Langkah awal dalam proses istinbathul ahkam (pengambilan hukum), menurut Imam Syafi’i, adalah mendatangkan al-bayan (keterangan). Untuk mengetahui dan menetapkan hukum sesuatu, keterangan pertama yang harus diperoleh adalah keterangan firman Allah (bayan ilahy). Keterangan firman dalam ayat Al-Qur’an harus diketahui karakteristiknya, karena ayat Al-Qur’an tidak satu jenis. Ada ayat muhkam (pasti), ada ayat mutasyabih (samar). Ada ayat ‘am (universal), ada ayat khas (partikular). Selain itu terdapat juga ayat nasikh (yang menghapus), ayat mansukh (dihapus). Ada ayat muthlaq (tak bersyarat/unconditional), ada ayat muqayyad (bersyarat/conditional). Ada ayat haqiqi (denotatif), ada ayat majazi (metaforis), dst. Pengetahuan tentang jenis-jenis ayat Al-Qur’an penting agar seseorang tidak salah baca dalam memahami ayat. Karena itu, tidak benar seseorang menetapkan hukum hanya dari sepenggal ayat tanpa memahami jenisnya, dan tanpa melihat munasabah (pertaliannya) dengan ayat-ayat lain. Karakteristik Ayat-ayat Al-Qur’an Saya tidak akan menjelaskan rinci, tetapi bagi yang tertarik memahami karakteristik ayat-ayat Al-Qur’an, direkomendasikan untuk membaca kitab al-Itqan fî Ulumil Qur’an, karya Jalaluddin as-Suyuthi. Namun, biar jelas, akan diberikan beberapa contoh. Para ulama berselisih pendapat tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Ayat muhkam biasanya berhubungan dengan ushulul aqidah (pokok-pokok tauhid dan keimanan) dan usuhulus syariah (prinsip hukum terkait perintah dan larangan). Contoh ayat muhkam: “Allahu khaliqu kulli sya’in wa huwa ‘ala kulli sya’in wakil (QS. Al-Zumar/39: 62): “Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” Contoh lain, “Yâ ayyuhan nasu’ budu rabbakumul ladzi khalaqakum wal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun” (QS. Al-Baqarah/2: 21): “Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”Ayat yang menjelaskan keesaan Allah, yaitu QS. Al-Ikhlas (112: 1-4), muhkam, tanpa kesamaran sedikit pun. Begitu juga ayat-ayat yang menerangkan kewajiban pokok agama seperti salat, zakat, puasa, dan haji semuanya muhkam. Sementara ayat mutasyabih terbagi 3 (tiga), yaitu: Pertama, mutasyabi dari segi lafal saja, seumpama lafal-lafal gharib (asing) seperti Abb (QS. Abasa/80: 31), Abariq (QS. Al-Waqi’ah/56: 18), dst. Ayat-ayat musytarak (wayuh arti) seperti yad (tangan/kekuasaan) dan yamin (kanan/sumpah). Juga huruf-huruf awal surat seperti Alif Lam Mim, Kaf Ha Ya Ain Shad, Ali Lam Ra, dst. Kedua, mutasyabih dari segi makna saja seperti sifat-sifat Allah dan hari kiamat, umpama ayat “ar-Rahmanu ‘alal arsyi-stawa,” (QS. Thaha/20: 5): “Tuhan yang Maha Pengasih bersemayam di atas arasy.” Contoh lain, “Wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram” (QS. Ar-Rahman/55: 27): “Dan wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” Juga ayat, “Yadullah fawqa aydihim” (QS. Al-Fath/48: 10): “Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka,” dst. Ketiga, mutasyabih dari segi lafal dan makna seperti ayat, “wa laysal birru bian ta’tul buyuta min dhuhuriha wa lakinna-l birra man-ittaqa (QS. Al-Baqarah/2: 189): “Dan bukanlah suatu kebaikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebaikan adalah orang yang bertakwa.” Contoh lain ayat, “innama-n nasi’u ziyadatun fil kufr (QS. At-Tawbah/9: 37): “Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran.” Dua ayat ini tidak bisa dipahami tanpa wawasan tentang adat Arab jahiliyah dan konteks situasional. Jenis kedua adalah ayat ‘am (universal) dan khas (partikular), terbagi ke dalam beberapa jenis. Pertama, ayat ‘am dan memang dimaksud ‘am, seperti Innallaha ya’muru bil adli wal ihsan wa iyta’i dzil qurba wa yanha anil fakhsya’i wal munkari wal baghy (QS. An-Nahl/16:90): “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil dan berbuat kebaikan dan membantu kerabat dan Dia melarang perbuatan keji dan munkar dan permusuhan.” Kedua, ayat ‘am dimaksudkan ‘am tetapi terdapat takhsis (pengecualian) seperti ayat “Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram” (QS. Al-Baqarah/2: 150): “Dan dari mana pun engkau keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.” Ayat ini di-takhsis dengan ayat “Fa in khiftum fa rijâlan aw rukbânan” (QS. Al-Baqarah/2: 239): “Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.” Maksudnya, hukum menghadap kiblat wajib dan berlaku umum, tetapi dikecualikan saat takut serangan musuh (boleh menghadap kemana saja). Contoh lain, “Innallah yaghfirudz dzunuba jami’a” (QS. Az-Zumar/39: 53): “Sungguh Allah mengampuni seluruh dosa semuanya.”Ayat ini di-takhsis dengan ayat, “Innallih la yaghfiru ay yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’ (QS. An-Nisa’/4: 48 dan 116): “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukanNya dan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Dia kehendaki.” Maksudnya, semua dosa diampuni, kecuali syirik. Ada juga ayat ‘am yang di-takhsis dengan hadits, seperti ayat “Hurrimat alaikumul maytatu wa-d damu wa lahmul khinzir” (QS. Al-Ma’idah/6: 3): “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” dan “Innama harrama ‘alaikumul maytata wa-d dama wa lahma khinzir” (QS. Al-Baqarah/2: 173): “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” Dua ayat ini di-takhsis dengan hadits Nabi, “Uhillat lana maytatani wa damani, as-samak wal jarad wal-kabidu wat thihal” (HR Ahmad, Ibn Majah, dan Daruquthni): “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu ikan dan belalang dan hati dan limpa.” Maksudnya, ada bangkai dan darah yang dihalalkan yaitu ikan dan belalang, hati dan limpa. Ada juga ayat, “Wa-s sariqu was sariqatu faqtha’u aydiyahuma jaza’an bima kasaba nakalan minallah” (QS. Al-Ma’idah/5: 38): “Dan terhadap pencuri laki-laki dan wanita, potonglah kedua tangannya sebagai balasan atas perbuatannya dan sebagai siksaan dari Allah.” Ayat ini di-takhsis dengan hadits “La taqtha’ yada-s sâriqi illa fi rub’i dinar fa sha’idan” (Muttafaqun alaih): “Jangan potong tangan pencuri kecuali (curiannya) senilai seperempat dinar ke atas.” Maksudnya, tidak semua hukum mencuri adalah potong tangan, tergantung kadarnya. Ada juga ayat “Yushikumullah fi awladikum lid dzakari mitslu haddzil untsayain” (QS. An-Nisa’/4: 11 dan 172): “Allah mensyariatkan bagimu bagian waris laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” Ayat ini di-takhsis dengan hadits, “Laysa lil qatil minal mirats syai’un” (HR. Abu Dawud & Bayhaqy): “Tidak ada sedikit pun bagian waris untuk seorang pembunuh,” dan hadits “La yaristsul kafiru-l muslima wala-l muslimu-l kafira” (HR.Bukhari-Muslim) “Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan orang Islam tidak bisa mewarisi orang kafir.” Maksudnya, meskipun anak kandung, dia terhalang mendapat warisan jika membunuh dan beda agama dengan orang tuanya. Ketiga, ayat ‘am, tetapi yang dimaksud khas, seperti ayat “ Alldzina qala lahumun nas innan nas qad jam’au lakum fakhsyauhum wa zadahum imana” (QS. Alu Imrân/3: 173). Nas artinya manusia, redaksinya umum (digunakan untuk banyak orang), tetapi di ayat ini maksudnya hanya satu orang, yaitu Nu’aym ibn Mas’ud al-Asyja’i. Ayat lain “Am yahsudunan nas ‘alâ maatahumullahu min fadhlih (QS. An-Nisâ’/4: 54). Nas yang dimaksud di ayat ini juga satu orang, yaitu Nabi Muhammad SAW. Keempat, ayat khas dan memang dimaksudkan khas, seperti ayat, “Ya nisa’an nabiyy lastunna ka ahadin minan nisa” (QS. Al-Ahzab/33: 32) danayat, “Wa ma lakum an tu’dzu rasulallahi wa la an tankihu azwajahu min ba’dihi abada (QS. Al-Ahzab/33: 53). Dua ayat ini menjelaskan kekhususan istri-istri Nabi dan tidak berlaku umum, yaitu larangan menikah dengan pria lain selepas ditinggal Nabi. Ayat lain, “Wa minal layli fa tahajjad bihi nafilatan laka” (QS. Al-Isra’/17: 79) dan ayat, “Wamra’atan mu’minatan in wahabat nafsaha lin nabiy in aradan nabiyyu ay yastinkaha khalisatan laka min dunil mu’minin” (QS. Al-Ahzab/33: 50). Dua ayat ini menjelaskan kekhususuan Nabi dan tidak berlaku umum, mencakup kewajiban dan hak. Kewajibannya, salat tahajud wajib hukumnya bagi Nabi. Haknya, Nabi boleh menikahi lebih dari empat wanita. Kelima, ayat khas, tetapi dimaksudkan ‘am, seperti ayat-ayat berikut: “Fa idza qara’tal qur’ana fastaidz billah” (QS. An-Nahl/16l: 98); “Wa idza kunta fîhim fa aqamta lahumus shalata” (QS. An-Nisa’/4: 102); “Khudz min amwalihim shadaqatan tuthohhiruhum wa tuzakkihim” (QS. At-Tawbah/9: 60); “Ya ayyuhan nabiyyut taqillah” (QS. Al-Ahzab/ 33: 1). Dalam empat ayat ini, khitab-nya mufrad (hanya untuk Nabi), tetapi isinya berlaku umum. Jenis ketiga adalah ayat nasikh-mansukh, terbagi ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: Pertama, naskhut tilawah wal hukmi (teks dan hukumnya dihapus semua). Contoh, riwayat A’isyah tentang jumlah susuan yang berdampak kepada garis darah, sebelumnya berbunyi, “asyru radha’at ma’lumat” (sepuluh susuan), tetapi kemudian di-nasakh dengan “khamsin ma’lumat” (lima susuan). Teks dan hukumnya dihapus semua. Kedua, naskhul hukm dunat tilawah (hukumnya dihapus, teksnya tidak). Contoh, ayat “wa ala-l ladzina yuthiqunahu fidyatun” (QS. Al-Baqarah/2: 184), di-nasakh dengan ayat sesudahnya, “Fa man syahida minkumus syahra fal yashumhu” (QS. Al-Baqarah/2: 185). Mufassir menyebut, hukum puasa Ramadlan sebelumnya opsional, antara puasa atau membayar fidyah. Setelah itu hukumnya wajib bagi semua, kecuali bagi orang sakit dan bepergian. Ayat lain, “Ittaqullah haqqa tuqatih” (QS. Ali Imran/3: 102): “Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa,” di-nasakh dengan ayat, “Fattaqullah ma-statha’tum” (QS. At-Taghabun/64: 16): “Bertakwalah kamu kepada Allah semampumu.” Contoh lain ayat, “La taqrabu-s shalata wa antum sukara hatta taqulu ma la ta’lamun (QS. An-Nisa’/4: 43),” di-nasakh dengan ayat, “Innamal khamru wal maysiru wal anshabu wal azlamu rijsun min amalis syaithâni fajtanibuhu (QS. An-Nisa’/4: 43). Hukum arak sebelumnya halal (QS. Al-Baqarah/2: 219), kemudian haram ketika shalat (di luar shalat tidak haram), kemudian haram dalam semua kondisi. Ketiga, naskhut tilawah dunalhukm (teksnya dihapus, tetapi hukumnya tetap). Contoh, diriwayatkan Aisyah sebelumnya terdapat ayat berbunyi, “idza zana al-syaikhu was syaikhatu farjumûhuma al-battata nakalan minallahi wallahu ‘azizun hakim.” (Jika laki-laki dan perempuan tua/sudah menikah berzina, maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana). Teks ayat ini terhapus, tetapi hukum zina muhshan (orang yang sudah menikah) tetap berlaku. Jenis keempat adalah ayat muthlaq dan muqayyad. Muthlaq adalah ayat yang berlaku mutlak tanpa syarat, sementara muqayyad sebaliknya. Contoh ayat muthlaq dan muqayyad, “Ya ayyuhal ladzina amanu athiullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa/4: 59): “Hai orang-orang yang beriman, taatillah Allah dan taatilah rasul-Nya dan pemegang kekuasaan diantara kamu.” Taat kepada Allah dan rasul-Nya mutlak, tanpa syarat, tetapi kepada pemimpin politik muqayyad (bersyarat). Dari mana kita tahu bahwa ketaatan kepada pemimpin politik muqayyad? Dari hadits Nabi, “’Alal mar’il muslim as-sam’u wa-t tha’atu fîma ahabba wa kariha illa an yu’mara bi ma’shiyyatin. Fa in umira bi ma’shiyyatin fa la sam’a wa la tha’ata (HR. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Wujubi Thu’atil Umara’ fî ghairi Ma’shiyyatin wa Tahrimiha fil Ma’shiyyat): “Wajib bagi setiap Muslim taat dan patuh (kepada pemimpin) baik senang maupun tidak. Jika diperintah kepada kemaksiatan, tidak ada kewajiban taat dan patuh.” Jenis kelima adalah ayat haqiqi dan majazi. Haqiqia dalah ayat di dalam Al-Qur’an dengan lafal tersurat dan tidak menunjuk makna lain. Sementara majazi adalah ayat yang tidak bisa dipahami langsung tanpa ta’wil karena bersifat kiasan. Contoh ayat majazi: “Wa huwa ma’akum ainamâ kuntum” (QS. Al-Hadid/57: 4): “Dan dia menyertaimu di mana pun kamu berada.” Ayat lain, “Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warid” (QS. Qaf/50: 16): “Dan Kami lebih dekat kepadanya ketimbang urat lehernya.” Ayat lain, “wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan shaffan” (QS. Al-Fajr/89: 22): “Dan datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris.” Sifat Allah dan kedekatannya kepada manusia tidak bisa dipahami secara harfiah, tetapi harus di-ta’wil. Ada juga jenis ayat manthuq dan mafhum. Manthuq adalah ayat yang maknanya tersurat di dalam dhahir lafal, sementara mafhum maknanya tersirat di luar lafal. Mafhum terbagi 2 (dua), muwafaqah (maknanya sejalan) dan mukhalafah (maknanya sebaliknya). Mafhum muwafaqah terbagi 2 (dua), fahwal khithab dan lahnal khitab. Contoh mafhummuwafaqahfahwalkhithab, “Fala taqul lahumâ uffin” (QS. Al-Isra’/17: 23): “Jangan kamu berkata “hus” kepada keduanya.” Mafhumnya, tidak boleh memukul, menendang, dan perbuatan lain yang menyakitkan. Dalam kategori qiyas, disebut awlawi (illat di dalam pokok [berkata ‘hus’], lebih rendah ketimbang illat di dalam cabang [memukul, menendang, dst]). Contoh mafhummuwafaqahfahwalkhithab: “Innal ladzina ya’kuluna amwalal yatama dhulman…” (QS. An-Nisa’/4: 10): “Sesunggunya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya…” Mafhum-nya, tidak boleh membakar, menghilangkan, melenyapkan, menenggelamkan, dst. Dalam kategori qiyas, disebut musawi (illat di dalam pokok [makan], sama tinggi dengan illat di dalam cabang [membakar, menenggelamkan, dst]). Umar ibn Khattab adalah bapak ijtihad yang berani keluar dari tekstualitas manthuq, menuju kontekstualitas mafhum. Ijtihad Umar yang terkenal, yang sekilas menyelisihi teks adalah terkait dengan penghapusan kategori mu’allaf dalam mustahiq zakat, penolakan Umar terkait pembagian fay berupa tanah pertanian di Syam, Irak, Mesir, dan Persia, dan moratorium had potong tangan bagi pencuri di musim paceklik (maja’ah). (Lihat, Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibn al-Khattâb fi al-Tasyrî (Cairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1970). Contoh-contoh jenis ayat Al-Qur’an diungkapkan untuk menunjukkan gaya bahasa Al-Qur’an yang berimplikasi terhadap kedudukannya dalam pengambilan dalil. Tanpa mengenal dan memahami karakteristik ayat, seorang mujtahid dapat terjatuh dalam kesalahan, karena misalnya, berhujjah dengan dalil yang sudah di-nasakh atau menghukumi ‘am padahal khas, meyakini muthlaq padahal muqayyad, menganggap muhkam padahal mutasyabih. Metode bayan yang dipelopori Imam Syafi’i, yaitu mendatangkan keterangan firman dengan mengenali jenis-jenis ayatnya, sangat esensial dalam proses penggalian hukum. Jika suatu perkara termaktub jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya. Tetapi jika tidak tersebut atau tersebut tetapi samar, maka bayan berikutnya yang harus didatangkan adalah sunah Nabi, baik yang berujud ucapan (qawlan), perbuatan (fi’lan), maupun penetapan (taqririyyan). Penulis adalah Sekjen PP ISNU

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil 2

Zunus, NU Online | Sabtu, 26 Maret 2016 10:02 
Oleh M Kholid Syeirazi 

Melanjutkan bagian pertama dari tulisan, Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil, narasi kedua ini akan mengurai Bayan Nabawy, Ijma’ dan Qiyas sebagai penyempurna dari penjelasan sebelumnya terkait panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil) dengan merunut dari penjelasan Imam Syafi’i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil, terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas) di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi ‘anarki hukum’ yang ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif. Bayan Nabawy Sunah Nabi adalah sumber hukum kedua. Sunah mencakup ucapan, perbuatan, dan penetapan. Ketika Nabi masih hidup, Nabi menjadi sumber paling otoritatif dalam menetapkan hukum. Beliau menerima wahyu dan menjelaskan isinya. Hal-hal yang tidak disebutkan wahyu, disampaikan hukumnya oleh Nabi. QS. An-Nahl/16: 44 menyebutkan, “Wa anzalna ilayka –dz dzikra li tubayyina lin nas ma nuzzila ilayhim,” “Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” Sunah yang berujud ucapan disebut dengan hadits. Semasa hidup, ucapan Nabi tidak ditulis, bahkan Nabi pernah melarang sahabat menulis ucapan beliau selain Al-Qur’an. Sepeninggal Nabi, umat Islam kehilangan sumber paling otoritatif untuk menjelaskan hukum. Dua pusaka yang tinggalkan Nabi adalah Al-Qur’an dan Sunah. Jika suatu perkara ditemukan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, itulah hukumnya. Jika tidak ditemukan, umat menengok kepada Sunah Nabi, baik yang berujud ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Sunah Nabi diceritakan oleh banyak sahabat, diriwayatkan melalui banyak sumber. Akhirnya, timbullah kerancuan. Banyak beredar hadits dari berbagai sumber, dinisbatkan kepada Nabi, tetapi tidak jelas kebenarannya. Pada tahun 99 H, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz mamanggil seorang ulama bernama Syihabuddin Romahurmuzy, untuk menciptakan metode menyaring hadits sehingga dikenali hadits-hadits yang sahih dan yang tidak. Ilmu itu dikenal dengan mushthalahul hadits. Melalui ilmu ini, sebuah hadits disaring sanad (mata rantai rawi) dan matan-nya (redaksinya). Hadits yang sanadnya tsiqah (terpercaya) dan matan-nya sejalan dengan Al-Qur’an, disebut dengan hadis sahih. Kepada hadits inilah hujjah untuk mengambil hukum dilakukan. Menurut Imam Nawawi, kitab hadits yang derajat kesahihahnnya di bawah Al-Qur’an adalah Bukhari dan Muslim. Kemudian berikutnya Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Daruquthni, Hakim, dan Baihaqi (Imam Nawawi, At-Taqrib wat-Taysir li Ma’rifati Sunani –l-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1975, hal. 26). Sebelum lahirnya kitab-kitab sunah ini, Imam Syafi’i berkata: “Ma ba’da kitabillah ashahhu min Muwattha’ Malik” (Tidak ada setelah Al-Qur’an yang lebih sahih ketimbang Al-Muwattha’ karya Imam Malik). Peringkat kedua adalah hadits hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan dari sumber terpercaya oleh rawi-rawi terkenal, diterima banyak ulama tetapi derajatnya di bawah hadis sahih karena terdapat rawi yang bukan kategori istimewa dalam hapalan dan integritas. Hadis hasan boleh digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan hukum. Peringkat ketiga adalah hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria sahih dan hasan. Termasuk kategori hadits dhaif adalah hadits maudhu’, syadz, dan munkar. Para ulama sepakat, hadits dhaif tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum, tetapi bisa ditoleransi sebagai dalil keutamaan perbuatan (fadhail al-a’mal). Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi ada yang bersifat ‘am ada yang bersifat khas, ada ‘am makhsus ada ‘am muthlaq, ada yang nasikh ada mansukh, ada muthlaq ada muqayyad sehingga seringkali nampak bertentangan satu sama lain. Karena itu, wajib bagi penggali hukum untuk melakukan pemilahan (ar-Risalah, hal 165). Menurut Imam Syafi’i, tidak ada hadits yang saling bertentangan, kecuali hadits yang tidak diriwayatkan secara sempurna. Dan tidak mungkin ada hadits sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sebagaimana tidak ada Sunah yang tidak mengikuti Al-Qur’an (ar-Risalah, hal. 169). Hadits-hadits yang diriwayatkan secara berbeda oleh para rawi bisa jadi karena rawi yang satu tidak mengetahui hadits lain yang telah me-nasakh atau suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang kurang terpercaya atau bisa juga Nabi menetapkan suatu hukum yang bersifat umum, di lain waktu, sebagai diskresi dan kebijaksanaanya, Nabi memberi dispensasi hukum yang bersifat khusus. Imam Syafi’i menulis kitab khusus yang menguraikan pertentangan hadits dan posisi imam dalam mengurai benang merahnya (Lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Ikhtilaful Ahadits, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Aziz, dimuat dalam Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 9, hh. 521-647). Contohnya hadits tentang puasa dan buka dalam safar (perjalanan). Ada hadits sahih, diriwayatkan banyak imam hadits, termasuk Bukhari-Muslim, berbunyi, “Laysa minal birri an tashumu fis safar” (Bukanlah kebaikan berpuasa di waktu safar). Dalam riwayat lain, kepada mereka yang tetap puasa di saat safar, Nabi menyatakan, “ulaika-l ushat” (mereka orang-orang yang membangkang). Namun, ada hadits sahih lain, diriwayatkan banyak imam hadits, berbunyi, “In syi’ta fa shum wa in shi’ta fa afthir” (Jika mau, puasalah, jika mau, berbukalah). Dua riwayat ini sekilas bertentangan. Riwayat pertama, Nabi mencontohkan berbuka dan mencela mereka yang puasa di waktu safar. Riwayat kedua, Nabi membebaskan orang untuk memilih puasa atau berbuka. Jika terdapat pertentangan hadis semacam ini, maka yang harus didahulukan adalah hadits yang maknanya mendekati Al-Qur’an dan Sunah Nabi yang lain, hadits yang diriwayatkan oleh rawi terkemuka yang mengerti sanad, masyhur ilmunya dan kuat hapalannya, hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur, hadits yang dikenal luas para ulama, hadits yang lebih sahih dalam qiyâs, dan hadits yang menjadi pegangan mayoritas sahabat (Ikhtilaful Ahadits, hal. 548-49; ar-Risalah, hal. 203-04). Kedudukan hadits sebagai penjelas Al-Qur’an sudah disampaikan dalam pembahasan ayat ‘am dan khas. Beberapa ketentuan umum di dalam Al-Qur’an di-takhsis oleh hadits. Hampir semua taklifat (kewajiban dan larangan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an di-takhsis dengan hadits, “Rufi’al qalamu ‘an tsalasin: ‘ani-n na’imi hatta yastayqidza, was shabiy hatta yablugha, wal majnuni hatta yafiqa (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah, Hakim): “Pena diangkat terhadap tiga orang: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga waras.” Artinya, hukum-hukum Islam tidak berlaku (ghairu mukallafin) pada tiga golongan ini: orang yang tidak tidur, anak kecil, dan orang gila. Untuk hadits nasikh dan mansukh, Imam Syafi’i memberikan banyak contoh. Antara lain, hadits “ghuslul jumu’ati wajibun ala kulli muhtalamin” (HR Malik & Ahmad): “Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi setiap orang dewasa.” Hadits ini di-nasakh dengan hadits “Man tawaddz’a yaumal jumuati fa biha wa ni’matun wa man ightasala fal ghuslu afdhal (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi): “Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, maka itu cukup dan suatu kebaikan. Barang siapa mandi, maka itu lebih utama.” Contoh lain, hadits “Innama ju’ilal imamu li yu’tamma bihi. Fa idza raka’a farka’u, wa idza rafa’a farfa’u, wa idza shalla jalisan fa shallu julusan (Muttafaqun alaih): “Imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia bangun maka bangunlah kalian, dan jika ia salat sambil duduk, maka salatlah kalian sambil duduk.” Hadits ini di-nasakh denga hadits riwayat Aisyah, “annan Nabiyya shalla qa’idan wa Abu Bakrin qa’iman yushalli bi shalatin Nabiy wa hum wara’ahu qiyaman” (Muttafaqun alaih): “Nabi salat sambil duduk, sementara Abu Bakar salat berdiri. Ia salat mengikuti salatnya Nabi, sementara orang-orang salat mengikuti salatnya Abu Bakar.” Contoh hadits yang di dalamnya terdapat nasikh dan mansukh sekaligus, نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا “Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, maka ziarahlah. Aku pernah melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, maka tahanlah apa yang tersedia sesuka kalian. Aku pernah melarang kalian nabidz (perasan anggur) kecuali dalam bejana minum, maka minumlah dari semua bejana dan jangan kalian minum-minuman yang memabukkan.” (HR. Muslim, No. 3651, Kitâbul Janâiz) Dengan hadits ini, hadits-hadits tentang celaan ziarah kubur, larangan minum anggur, dan menahan daging kurban lebih dari tiga hari dinyatakan mansukh (terhapus). Apa yang diuraikan di atas menunjukkan, pengetahuan tentang hadits, jenis-jenis dan karakteristiknya mutlak bagi seorang yang mau menetapkan hukum. Jika suatu perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya. Jika tidak terdapat, carilah dari sunah Nabi. Jika terdapat hadits sahih yang menerangkan hukumnya dan tidak di-nasakh hadits lain, maka itulah hukumnya. Demikianlah pedoman Imam Syafi’i, “Idza shahhal hadits fa huwa madzhabi” (Jika hadits itu sahih, itulah madzhabku). Terhadap perkara yang yang telah secara jelas dinyatakan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunah (manshushan bayyinan), haram hukumnya perbedaan pendapat. Adapun perkara yang hukumnya diketahui dengan ta’wil dan mengambil padanan dalil (qiyas), ruang bagi perbedaan pendapat lebih terbuka (ar-Risalah, hal. 353). Terhadap perkara yang tidak ditemukan nash-nya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Sunah, maka hukum harus ditetapkan dengan ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan Qiyas Kedudukan ijma’ dan qiyas, menurut Imam Syafi’i, di bawah hujjah Al-Qur’an dan Sunah. Namun, dalam perkara yang tidak ada nash-nya di dua sumber primer itu, kedudukan ijma’ dan qiyas sangat penting sebagai dasar menetapkan hukum. Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid sepeninggal Rasulullah saw terhadap hukum suatu perkara yang diikuti mayoritas umat yang menganggap kesepakatan mereka sebagai hujjah syar’i yang mengikat. Imam Syafi’i mencontohkan mujtahid yang diakui otoritas fatwanya seperti Sa’id ibn Musayyab (Madinah), Atha ibn Abi Rabah (Mekkah), Hasan al-Basri (Basrah), dan Amir as-Sya’bi (Kufah). Jika mereka bersepakat terhadap hukum suatu hal dan dinukil mayoritas umat dan diakui sebagai hujjah, itulah ijma’ (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 7, hal. 471). Ijma’ bisa terjadi dalam setiap kurun, zaman sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga sekarang. Namun, Imam Syafi’i memberikan catatan, kesepakatan dalam hal-hal selain prinsip (ushul/kulliyutud din) sulit terjadi, meski tidak mustahil. Sa’id ibn Musayyab, Sa’id ibn Salim, Zanji ibn Khalid, Atha ibn Abi Rabah, Hasan al-Basri, Amir as-Sya’bi, Abu Yusuf, dan Sufyan as-Tsauri merupakan figur-figur terkemuka. Namun, pendapat mereka kemudian disanggah dan dicela baik oleh ulama sezaman maupun generasi penerusnya. Artinya, ijma’ biasanya terjadi dalam hal-hal prinsip, sementara ikhtilaf dalam perkara furu’ dapat ditoleransi. Qiyas adalah metode menetapkan hukum dengan cara mengambil padanan dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya (ma’dum) kepada perkara yang ada nash-nya (maujud). Tidak semua perkara terdapat nash-nya, baik di Al-Qur’an maupun hadits. Nash bersifat terbatas, sementara perkara yang dihadapi manusia tidak terbatas. Kepada Mu’adz ibn Jabal, Rasulullah pernah menanyakan seandainya dia hendak memutus perkara tetapi tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan Sunah, Mu’adz menjawab “Ajtahidu Ra’yi” (aku akan berijtihad dengan pendapatku). Rasulullah memuji Mu’adz dan menyatakan. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah Saw” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Ijtihad itulah yang oleh Imam Syafi’i disebut dengan qiyas. Imam Syafi’i menyatakan: “Semua perkara yang dihadapi seorang muslim, harus ada hukumnya yang pasti atau petunjuk (dilalah) tentang hukumnya. Jika telah ada hukumnya yang pasti, harus diikuti. Jika tidak, harus dicari petunjuknya dengan jalan yang benar melalui ijtihad. Ijtihad itulah qiyas” (Ar-Risalah, hal. 314). Petunjuk (dilalah) itu diperoleh dari dalil. Metode menggali dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya yang sharih disebut dengan istidlal. Dengan demikian, qiyas tidak lari dari nash. Dengan mencari benang merah atau persamaan illat dalam perkara yang ada nash-nya dengan perkara yang tidak ada nash-nya, nash tetap menjadi timbangan (mikyal/miqyas) dalam menetapkan hukum. Inilah yang membedakan qiyas Imam Syafi’i dengan istihsan Imam Hanafi dan istishlah Imam Maliki. Dalam dua metode yang ditolak Imam Syafi’i tersebut, peran nash menjadi subordinat di bawah dalih kebaikan/kemaslahatan (Lihat Al-Umm, Juz 7,“Bab Ibthalil Istihsan,” hh. 492-500). Qiyas hanya boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai perangkatnya, yaitu ilmu tentang hukum-hukum Al-Quran, fardhu-nya, susasteranya, nasikh-mansukh-nya, ‘am-khas-nya, dan petunjuk-petunjuknya, sunah Rasulullah, pendapat ulama dulu dan kini, memahami bahasa Arab, mengerti perkara-perkara yang samar, dan tahu analogi (Ar-Risalah, hal. 329, Al-Umm, juz 7, hal. 466). Dalil yang disampaikan Imam Syafi’i tentang keharusan melakukan qiyas dan bukan istihsan atau dan istishlah adalah QS. Al-Baqarah/2: 144, “fa walli wajhaka syathral masjidil haram” (hadapkanlah wajah-mu ke sisi Masjidi Haram). Ayat ini, menurut Imam Syafi’i, menyuruh orang untuk berijtihad dalam hal tidak hadir di Masjidil Haram. Keharusan mencari arah kiblat bagi orang yang hendak salat tetapi jauh dari Masjidil Haram adalah dengan cara mencari petunjuk melalui perbintangan, arah angin, bulan, matahari, dan geografi (Al-Umm, juz 7, hal. 465). Begitu juga ijtihad. Dalam hal tidak ditemukan nashsharih dalam al-Kitab dan Sunah, maka wajib mencari petunjuk dari dua sumber itu, bukan di luar keduanya. Caranya, melalui qiyas, yaitu mencari padanan dalil berupa persamaan illat (benang merah) perkara cabang yang masih samar (khafiy) kepada perkara pokok yang sudah jelas (jaliy) hukumnya. Rukun qiyas ada empat, yaitu pokok (ashl), cabang (far’), illat, dan hukum. Pokok maksudnya perkara yang hukumnya dinyatakan oleh nash (manshus), disebut dengan al-maqis ‘alaih. Cabang maksudnya perkara yang hukumnya tidak dinyatakan oleh nash (maskut), disebut dengan maqis. Illat artinya faktor atau benang merah (mahallul wifaq) yang menghubungkan persamaan dua perkara. Hukum artinya hukum yang berlaku (tidak mansukh) dalam perkara pokok dan akan diberlakukan pada perkara cabang. Imam Syafi’i, membagi qiyas menjadi dua, yaitu qiyas al-ma’na dan qiyas syibh (Ar-Risalah, hal. 315). Qiyas makna adalah menganalogikan perkara cabang yang illat-nya dalam satu cakupan makna dengan perkara pokok. Illat-nya bisa bersifat awlawi (illat pada cabang lebih kuat ketimbang pada pokok) , musawi (illat pada cabang dan pokok setingkat), dan adna (illat pada cabang lebih lemah ketimbang pada pokok). Contoh, mengkiaskan memukul dengan berkata kasar, karena dua-duanya bermakna menyakiti (awlawî). Mengkiaskan membakar/menenggelamkan dengan memakan, karena dua-duanya bermakna melenyapkan (musawi). Mengkiaskan narkoba dengan khamar, dua-duanya sama-sama memabukkan (musawi). Mengkiaskan beras dengan gandum, dua-duanya sama-sama makanan pokok (musawi). Mengkiaskan apel dengan gandum, dalam riba fadl (adna). Qiyas syibh adalah menganalogikan perkara cabang kepada dua atau lebih perkara pokok yang memiliki keserupaan. Dalam hal ini, yang dipilih adalah perkara pokok yang paling banyak keserupaannya. Contoh, hukum mencederai budak dapat dikiaskan dengan hukum menyakiti orang merdeka, karena kedua-duanya manusia. Tetapi dapat pula dikiaskan dengan harta benda, karena dua-duanya merupakan hak milik. Dalam hal ini, ketimbang dengan orang, budak lebih pas dikiaskan dengan harta benda karena lebih banyak persamaannya seperti dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya. Takhtim Dari Imam Syafi’i, kita belajar metode memahami dalil-dalil agama. Beliau adalah pionir pengembangan ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu untuk menggali hukum dari sumber primer agama. Sumber primer Islam adalah Al-Qur’an dan hadits, tetapi ayat Al-Qur’an tidak sejenis. Ada berbagai jenis ayat yang harus dipahami karakeristiknya sebelum menarik dalil dari Al-Qur’an. Begitu juga hadits. Tidak semua hadits bisa dijadikan hujjah karena hadits banyak jenisnya. Tidak semuanya sahih dan bisa dijadikan dasar hukum. Bahkan, banyak contoh hadits sahih isinya sekilas bertentangan dengan hadits sahih lain. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu untuk merekonsiliasikannya. Tidak semua perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan hadits. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu menarik dalil melalui ijma’ dan qiyas. Dari Imam Syafi’i, kita belajar tidak gegabah dalam menyimpulkan hukum. Hal-hal yang tidak ditera secara sharih (jelas dan tegas) di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak bisa dihukumi halal dan haram sebelum melihat ijma’ dan qiyas. Panduan ini penting di tengah ‘anarki hukum’ yang mewabah kalangan umat Islam belakangan ini. Sekelompok orang dengan mudah menuding bid’ah dan menyatakan haram hal-hal yang tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan hadits. Tindakan itu secara konyol dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar Islam, dengan jargon hebat “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” tetapi tidak mengerti ulumul Qur’an dan musthalahul hadits. Imam Syafi’i secara tersirat menegur mereka yang tidak cukup ilmu untuk berfatwa dan menetapkan hukum hanya bermodal satu-dua ayat, sepenggal dua penggal hadis, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya dengan teks lain dan dengan maqashid al-syar’iyyah. Legacy besar sang Imam membuatnya layak menjadi madzhab Islam terbesar yang diikuti Muslim di Indonesia. Para pendiri NU secara tepat menjadikan Imam Syafi’i sebagai rujukan karena metode dan moderasinya, menurut saya, paling kompatibel dengan agenda menjahit sintesis Islam-kebangsaan.

*Penulis adalah Sekjen PP ISN

(S)

0 komentar:

Posting Komentar