kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah),
lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk
kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan
mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual,
antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas
dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di
lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari
beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu
Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan
Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut
dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk
pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili. tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah
kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu
sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn
Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath
al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan
al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan
tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan
tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan
kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan
sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai
praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat
tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam
urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia
menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan.
Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru
nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat
Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan
penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan
pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku
ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok,
bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang
melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa
Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang
terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun
kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri
Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam
kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika
aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau
mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis
pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan
agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada
masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di
Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota
Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di
semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama
dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja
juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atha’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa
kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka
sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul
Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih
Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,
dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah
datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang
quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami
Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan
timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ”
Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid
dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap
kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atha’illah) demi orang yang alim fiqih
ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni
fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu
agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para
alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu
ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia
bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar
kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku
merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya,
melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya.
Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan.
Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang
tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya
dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban,
keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi
yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari
Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa
bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya
semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi
sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan :
Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan
penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan
pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku
ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok,
bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang
melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa
Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang
terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun
kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri
Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam
kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika
aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau
mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis
pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan
agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada
masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di
Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota
Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di
semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama
dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja
juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atha’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa
kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka
sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul
Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih
Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,
dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah
datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang
quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami
Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan
timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ”
Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid
dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap
kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atha’illah) demi orang yang alim fiqih
ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni
fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu
agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para
alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu
ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia
bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar
kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku
merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya,
melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya.
Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan.
Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang
tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya
dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban,
keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi
yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari
Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa
bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya
semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi.
Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi
sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan :
“Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk
meninggalkan ilmu dzahir.
Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini
tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan
namanya Ibnu Naasyi’.
Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia
merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan
berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku
sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk
diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.
Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar
uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan
sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan
kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas
pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke
Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada
tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu
Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara
Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi
bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang
yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atha’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah
yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya
sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak
ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya
rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu
Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini
ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika
pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata:
meninggalkan ilmu dzahir.
Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini
tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan
namanya Ibnu Naasyi’.
Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia
merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan
berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku
sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk
diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.
Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar
uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan
sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan
kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas
pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke
Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada
tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu
Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara
Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi
bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang
yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atha’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah
yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya
sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak
ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya
rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu
Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,
menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini
ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika
pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan
hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan
riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka
tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol
kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan
riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka
tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol
kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
“Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi
Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya
sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”.
Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay
al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli
fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin
al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atha’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh
dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan
komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya
beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat
santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek
sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak
semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan
syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia
menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan.
Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru
nasihat.
Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk
membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan
pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral
yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya
dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti
Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak
Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian,
makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana
akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan
Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an
dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai
tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada
dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia
yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak
manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai
keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal
puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi
miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta
yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun
jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia.
Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan
harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan
umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami
orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif
yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah
Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya
sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan
perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”.
Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay
al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli
fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin
al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atha’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.
Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh
dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan
komentar oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah
Al-Tanwir fi Isqath, Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul
Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapanterhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya
beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat
santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek
sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak
semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan
syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia
menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan.
Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru
nasihat.
Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk
membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan
pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral
yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya
dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti
Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak
Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian,
makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana
akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa
syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa
kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT
dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata
Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan
Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an
dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai
tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada
dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia
yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak
manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai
keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal
puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi
miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta
yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun
jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia.
Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan
harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan
umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami
orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif
yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah
dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh
Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak
dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat
menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan
dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia
Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak
dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat
menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan
dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia
berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf
yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang
yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan
dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah,
dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Karomah Ibn Athaillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh
Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud
sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan
bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn
Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang
celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat
supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn
Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang
maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu
si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah,
dia pasti menjawabnya”.
Wafat Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun
tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus
beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun
demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad
mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan
sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman
al-Qorrofah al-Kubro.
yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan
memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang
yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan
dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah,
dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Karomah Ibn Athaillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh
Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud
sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan
bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn
Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang
celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat
supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah
satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn
Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang
maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu
si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah,
dia pasti menjawabnya”.
Wafat Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun
tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus
beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun
demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad
mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan
sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman
al-Qorrofah al-Kubro.
0 komentar:
Posting Komentar