Demikian pula masalah wudhu dan tayamum, termasuk istinja, sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam buku-buku paket anak-anak SD.
Yang penting diketahui dalam perspektif ini, meskipun orang sudah mandi dengan menggunakan sabun atau shampo, jika tidak secara formal mengambil air wudhu kemudian shalat, maka shalatnya batal atau tidak sah. Karena, salah satu syarat sah shalat ialah mengambil wudhu dan bersih dari hadas kecil atau besar.
Seseorang yang dalam keadaan hadas besar tidak cukup hanya dengan berwudhu, tapi harus mandi junub, yaitu mandi dengan nait mandi junub dengan cara mencuci seluruh anggota badan tanpa terkecuali.
Dalam dimensi dasar perspektif tarekat dan hakikat sebetulnya juga sama. Yang berbeda ialah pemaknaan, konsep, dan niat. Misalnya, bagaimana ulama fikih, tarekat, dan hakikat memaknai air, tanah, anggota badan yang harus dibersihkan.
Sedangkan, dimensi neurologis dan psikologis dihubungkan dengan efek positif pada diri manusia jika masing-masing konsep itu diterapkan. Dari sini, kita bisa memahami, Subhanallah, ternyata setiap perintah dan larangan Allah SWT bukan untuk kepentingan diri-Nya, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam pandangan fikih, objek yang harus dibasuh ialah lebih kepada fisik. Tidak heran jika fikih wudhu sangat teliti mengenai anggota badan yang harus dicuci (al-gusl) dan yang harus diusap (al-mash) dengan air wudhu. Pada anggota badan yang harus dicuci, seperti wajah dan tangan, tidak boleh ada pori-pori yang tidak tersentuh air.
Pengecualian jika ada perban luka yang membungkus daerah tersebut. Kuteks atau cat kuku yang unsurnya, seperti cat, bisa menghalangi air menyentuh pori-pori sehingga tidak boleh digunakan. Ini terkenal di dalam mazhab Syafi’i.
-----
Berbeda jika unsur pewarna itu dalam bentuk cair dan tidak menghalangi air wudhu menyentuh pori-pori, seperti daun pacar, tinta, dan semacamnya, tidak membatalkan wudhu.
Demikian pula sangat teliti di dalam menentukan batas-batas anggota badan yang harus disentuh air wudhu, air mandi junub, dan debu tayamum.
Tidak boleh ada anggota badan yang tersisa pada daerah yang seharusnya dicuci atau dibasuh air atau disapu dengan tayamum.
Siku, mata kaki, dan bagian kepala yang harus dicuci atau dibasuh air wudhu atau debu tayamum menjadi perdebatan kalangan ulama fikih. Apakah siku dan mata kaki termasuk harus di basuh atau hanya di daerah perbatasannya. Demikian pula kepala, apakah keseluruhannya harus diusap atau hanya sebagiannya saja.
Dalam perspektif fikih juga sangat detail di dalam membicarakan bahan-bahan thaharah, seperti air dan debu.
Ulama Syafi’iyyah mensyaratkan, air yang bisa digunakan berwudhu tidak boleh dengan air musta’mal (air bekas bersuci). Karena itu, kolam air yang airnya kurang dua qullah tidak boleh digunakan bersuci karena sudah masuk kategori musta’mal.
Pengecualian jika air dalam kolam itu terus menerus mengalir. Sedangkan, menurut Imam Abu Hanifah, sepanjang belum berubah rasa, bau, dan warna, air itu boleh dipakai berwudhu, meskipun kurang dari dua qullah.
Demikian pula debu tayamum. Menurut Imam Syafi’I, debu tayamum disyaratkan ada wujud konkret berupa debu (shaidan thayyiban).
Sedangkan menurut Abu Hanifah tidak mesti ada wujud debu, yang penting barang-barang yang berasal dari tanah, seperti sandaran kursi pesawat, permukaan meja yang dianggap bersih, sudah bisa digunakan bertayamum, sungguhpun tidak kelihatan wujud debunya.
Dalil yang digunakan sama oleh Imam Syafi’i, hanya cara menafsirkan ayat itu yang berbeda.
(S)
0 komentar:
Posting Komentar