Minggu, 15 November 2015

Belajar dari Suasana Batin: Ketika Terdesak Hajat Besar


Jika seseorang mempunyai hajat dan kebutuhan besar apalagi sangat mendesak, maka saat itu orang seringkali melakukan sesuatu yang luar biasa.

Contoh hajat besar dalam kehidupan sehari-hari kita ialah saat orang tua sakit keras dan jiwanya terancam. Sementara, kita tidak punya uang untuk menebus resep obat dari dokter.

Atau, saat anak terancam akan dikeluarkan dari sekolahnya jika pembayaran SPP tidak dilunasi hari itu.

Bertemunya berbagai kepentingan mendesak dalam waktu bersamaan, seperti kontrakan rumah harus dibayar, utang jatuh tempo, sementara anak sakit keras, hal-hal seperti ini sering kali membuat seseorang merasa tersisih dan terpojok.

Dalam mengatasi hajat dan keperluan mendesak itu ada orang yang memilih untuk menempuh segala cara tanpa memedulikan apakah itu halal atau haram. Cara-cara seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang relatif memiliki status sosial yang lebih baik.

Ada juga orang berusaha menenangkan dirinya sendiri di samping berusaha secara ekstra sambil memohon petunjuk dan pertolongan Allah SWT.

Tidak mudah membedakan antara hajat dan kebutuhan besar dan mendesak. Setiap orang punya ukuran subjektif. Mungkin seseorang menganggap sebuah hajat adalah kebutuhan besar tapi tidak bagi orang lain. Jadi, jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan itu sangat ditentukan oleh orang per orang.

Di dalam Islam, hajat dan kebutuhan itu dibedakan jadi tiga tingkatan. Pertama, disebut kebutuhan darurat atau kebutuhan yang bersifat primer meliputi lima kebutuhan pokok (dharuriyyat al-khamsah).

Kebutuhan tersebut adalah :
  1. Agama
  2. Jiwa
  3. Akal
  4. Martabat keturunan
  5. Harta
Seseorang dipandang mati syahid dan terbebas dari sanksi manakala seseorang melakukan tindakan pembelaan terhadap salah satu dari kelima kebutuhan pokok tersebut.

-----

Islam melarang syirik untuk memelihara agama. Islam melarang pembunuhan untuk memelihara jiwa.

Islam melarang minuman keras untuk memelihara akal. Islam melarang zina untuk memelihara keturunan. Dan Islam melarang pencurian untuk memelihara harta.

Kedua kebutuhan hajjiyat atau kebutuhan sekunder. Yakni kebutuhan yang mendesak tetapi belum sampai pada tingkat dharuriyat. Misalnya kebutuhan seseorang akan rumah, telepon, dan kendaraan.

Ketiga kebutuhan tahsiniyat atau luxury. Yaitu kebutuhan aksesori kehidupan. Kebutuhan ini tidak memengaruhi eksistensi kehidupan tetapi lebih merupakan pelengkap, seperti rumah asri, kendaraan, dan pakaian yang bermerek.

Secara skematis, ketiga tingkat kebutuhan itu bisa dipilah dan dibedakan. Tetapi secara emosional, masing-masing orang meresponsnya dengan berbeda-beda. Boleh jadi kebutuhan level ketiga (tahsiniyat) disikapi secara berlebihan, melampaui responsnya terhadap kebutuhan yang mendasar.

Dalam Islam, memang ada kaidah yang mengatakan hajat yang mendesak menempati posisi darurat (al-hajah tanzilu manzilah al-dharurah), sementara darurat itu membolehkan sesuatu yang tadinya tidak boleh (al-dharurah tubih al-makhdhurat).

Namun, yang dimaksud di dalam kaidah itu ukurannya bukan selera atau mempertahankan prestise, tetapi betul-betul menyangkut kelangsungan eksistensi dan kapasitas manusia sebagai hamba atau sebagai khalifah.

Respons emosional seseorang terhadap hajat hidupnya perlu dicermati karena hajat dan kebutuhan ini bisa membuat orang jatuh tersungkur. Tetapi sebaliknya, bisa membuat orang meroket bagaikan lulus di dalam suatu ujian berat.

Hajat dan keperluan besar juga berpotensi untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Apalagi, jika hajat tersebut diajukan secara tulus dan penuh kesungguhan kepada Tuhan dalam bentuk doa. Doa itu sendiri menurut Rasulullah SAW adalah jantung ibadah (al-du’a mukhkhul ’ibadah).

Hajat yang besar dalam suasana batin bisa bermakna ganda. Di satu sisi kita merasakan Mahakuasa Tuhan, di sisi lain kita sangat lemah sebagai hamba.

Kebesaran dan keagungan Tuhan akan lebih terasa saat berhadapan dengan keganasan alam, seperti berhadapan dengan ombak besar di tengah laut, dalamnya goa yang gelap gulita, gemuruh suara halilintar, kencangnya angin puting beliung, dahsyatnya topan salju yang menusuk tulang, atau di tengah berbagai jenis gempa bumi. Semua orang merasa butuh pertolongan Tuhan ketika itu.

-----

Kiat untuk mendapatkan hikmah dan sekaligus jalan keluar terhadap hajat yang sedang kita alami ialah dengan cara memperkuat semangat raja’, yaitu rasa kebutuhan yang amat sangat terhadap pertolongan dan perlindungan Tuhan.

Ketergantungan kita kepada Tuhan begitu besarnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi dewa penolong lain selain hanya Allah SWT. Diri kita terasa tidak ada apa-apanya sementara Tuhan terasa Maha Segalanya.

Sikap raja’ diawali dengan rasa takut kepada Allah SWT. Sering kali, di tengah perjalanan, tadinya hajat dan kebutuhan seorang hamba adalah sesuatu yang bersifat materiil atau duniawi, tiba-tiba beralih kepada Tuhan.

Yang menjadi kebutuhan dan harapan utama ialah ridha Allah SWT. Dalam kondisi batin seperti ini, seorang hamba berpotensi menjalin kedekatan diri dengan Tuhannya.

Kiat selanjutnya tentu saja adalah doa. Tanpa doa, seseorang akan dinilai angkuh dan sombong. Seolah-olah yang bersangkutan tidak membutuhkan Tuhan di dalam mewujudkan hajat.

Etika berdoa ialah sedapat mungkin badan dan jiwa kita bersih. Disarankan berwudhu lalu membersihkan hati dan meluruskan jalan pikiran serta diringi perasaan tawadhu dan raja’ kepada Allah SWT.

Doa diawali dengan lafaz tahmid dan puji-pujian kepada Allah SWT, kemudian shalawat kepada Rasulullah SAW, kemudian masuk ke materi hajat kita, memohon berkah dari apa yang diharapkan, lalu ditutup dengan surah al-Fatihah.

Kiat lain bisa diiringi dengan nazar, yaitu komitmen tertentu kepada Allah, yang akan kita lakukan jika hajat dan harapan kita dikabulkan. Misalnya, kalau hajat dan harapan saya dikabulkan saya akan memberi makanan kepada 60 orang yatim piatu.

Nazar bisa menjadi energi pendorong doa ke langit. Namun disarankan, nazar ini dilakukan tidak terlalu sering sehingga menimbulkan kesulitan diri sendiri karena nazar wajib untuk direalisasikan.

Kesimpulannya,

hajat dan kebutuhan besar kita berpotensi untuk lebih mendekatkan seorang hamba kepada Tuhan. Hajat perlu dicermati agar tidak sebaliknya, menjerumuskan kita ke perbuatan yang tercela.
Jangan sampai hajat besar kita yang bersifat duniawi menenggelamkan hajat kita yang sesungguhnya paling besar, ialah taqarrub, berdekatan sedekat mungkin dengan-Nya.

Alhamdulillah, berbahagialah orang yang dapat memperoleh kedua hajat tersebut.

(S)

Posting Terkait

0 komentar:

Posting Komentar