Sabtu, 03 Januari 2015

Analogi Pemanfaatan Kepandaian dan Kebodohan dengan Penggunaan Golok Tajam dan Golok Tumpul

Ide postingan ini sebenarnya saya kembangakan dari sebuah update an status di facebook saya beberapa waktu lalu tentang pemanfaatan kepandaian dan kebodohan dengan penggunaan golok tajam dan golok tumpul.
Arah analogi tersebut sebenarnya tentang potensi antara kepandaian / kecerdasan yang dimiliki seseorang dan kebodohan yang melekat pada seseorang dan hubungannya dengan perumpaan tentang cara memanfaatkan dan menggunakannya.

Ingin tahu apa itu?. Silahkan simak gambaran berikut ini :

Si A memiliki sebuah golok. Karena golok itu terbuat dari bahan terpilih; baja yang bagus, juga proses cara pembuatan dan pengasahan yang pas memang golok yang miliki si A sangat tajam. Disamping memang golok tersebut di belinya dengan harga diatas harga pasaran tidak sebagaimana golok berbahan besi limbah dan biasa seperti yang dijual di pasar-pasar tradisional umumnya.

Bukti tahu bahwa golok si A sangat tajam adalah ketika sebuah kertas di tempelkan pada bilahnya dan ditarik sedikit walaupun tanpa memberi tekanan kertas itu terpotong dengan rapi.

Stop sampai disitu saja! Golok tidak pernah di test atau di cobakan untuk memotong material lain selain di uji ketajamannya hanyan dengan secarik kertas.

Selanjutnya golok tersebut hanya di pajang dan tidak pernah di gunakan dan dimanfaatkan untuk menebas atau memotong apapun.

Disimpan dengan hati-hati dan si empunya dengan suka cita dan bangga menyiarkan bahwa dia memiliki golok tajam, berkualitas bagus dan mahal pula.

Di lain pihak si B juga memiliki sebuah golok. Golok yang hanya berbahan besi sisa kerangka bangunan yang mungkin juga hasil curian seorang kuli bangunan yang kepepet, tongpes uang bayaran mingguannya ludes untuk dikirim ke keluarganya dikampung. Golok yang dibeli dipasar kota kecamatan, di asah dengan seadanya dan sesempatnya (dan mungkin tidak pula pas) dengan batu asah biasa yang di dapat secara kebetulan waktu si pemilik golok cuci kaki habis mencari kayu bakar dihutan.

Bisa di prediksi, golok itu ketajamannya biasa-biasa saja dan kadangpun cenderung "kethul" atau tumpul.

Namun si B pemilik golok biasa tadi yang menyadari hanya itu satu-satunya alat pemotong yang di punyai, dengan tetap semangat dan tidak banyak menuntut diri, ketika dia harus menebas batang bambu, memotong ranting yang liat dan basah sekalipun dia lakukan dengan alat golok biasa tadi.

Walaupun juga dengan unsur susah payah pada setiap aktivitas pemanfaatan golok yang tumpul tadi. Namun pada tiap akhir tugasnya, dia si B selalu tersenyum dan kadangpun berguman dalam hati : "Yah, walaupun cuma golok kethul, tapi saya sudah bisa banyak melihat gunanya", "Dasarnya semua tergantung saya, walaupun golok jelek dan tidak tajam, tapi saya punya banyak cara untuk memanfaatkannya".

Kebanggaan si B bukan hanya tertumpu pada urusan kepemilikan golok yang tajam atau tumpul namun lebih pada bagaimana cara dirinya mendayagunakan keterbatasan alat yang ada untuk menciptakan manfaat.

Tidak sampai di situ. Karena sadar golok yang di miliki cuma golok abal-abal (walopun sudah terbukti berguna sekali), si B merasa enggan dan tidak memandang ada perlunya untuk memamerkankanya. Bisa-bisa malah hanya akan jadi bahan tertawaan sesama pemilik golok, terutama pemilik golok (yang katannya) tuajaammm dan mahalllll ...

Garis bawahnya adalah :
Potensi kecerdasan, kepandaian, kebisaan, ketrampilan walaupun sedikit dan terbatas kita miliki, jika dimaksimalkan pemanfaatannya dengan cara yang tepat dan bertujuan baik akan kerap membawa hasil yang jauh lebih bagus dari yang mungkin sebelumnya kita kira. Walaupun juga kepandaian yang minim dan pas-pasan sering di persepsikan sebagai kedunguan dan tidak berguna, tidak membanggakan, tidak pantas untuk di beritakan serta pandangan lain yang negatif.
Sebaliknya kebanggaan akan kepemilikan kepandaian sehebat apapun judul dan nilainya (baca ijazah / sertifikat). Terlepas dari persepsi positif maupun negatif yang ada, akan tidak bermanfaat sama sekali jika hanya di pajang, sebatas untuk bangga-banggaan, tanpa di ikuti adanya langkah riil untuk memberdayakannya sesuai kebutuhan secara maksimal, akan hanya berpotensi menjadi sesuatu yang usang dan musnah pada akhirnya. Malahan akan sangat tidak berguna di banding dengan golok tumpul yang terus diasah oleh si empunya dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

0 komentar:

Posting Komentar