Jumat, 17 Januari 2014

Perang Salib


Sekilas Tentang Perang Salib

Perang Salib adalah gerakan pihak Kristen di Eropa untuk merebut kekuasaan umat Muslim di area Timur (Palestina) secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13.

Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.

Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik.

Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13.

“Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.

Diawali permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk membantu Kekaisaran Byzantium yang merasa terkena imbas ekspansi Muslim, bertemu kepentingan Kristen untuk mengembalikan, mengembangkan pengaruhnya di Timur bisa di sebut ini adalah bibit awal berkobarnya rentetan perang salib yang berlngsung selama beberapa abad.

Lainya adalah perang salib juga merupakan perang perebutan simbol religius atas tanah suci (holy land) Yerusalem. Karena di disinilah terdapat simbol-simbol suci bagi 3 agama Abrahamik sekaligus yaitu Kristen dan Islam juga Yahudi.

Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu.

Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci.

Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima. (Wikipedia).


Situasi dan Latar Belakang

Situasi di Eropa

Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki.

Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat.

Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka (spirit tempur mereka) dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik.

Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.

Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi Muslim.

Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut.

Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dilakukan oleh Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan juga pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.

Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib (A crusader), sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”.

Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis.

Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan.

Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci (holy land) dar tangan muslim, termasuk di dalamnya Yerusalem (dimana disini terdapat lokasi yang di percaya sebagai tempat kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga menurut ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama).

Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu lain dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka.

Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia.

Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi dan yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu masih kontroversi.

Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalem lah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya.

Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”.

Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib.

Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.


Situasi di Timur Tengah

Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7.

Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristen atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci mereka.

Sementara kurun waktu itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem-yang berada jauh di Timur-sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar.

Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur. Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi.

Namun selanjutnya banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Dari cerita dan laporan yang didapat dari para peziarah Kristen yang pulang ini kemudian disinyalir juga memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.


Penyebab Langsung

Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut.

Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern).

Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Ortodoks Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya.

Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I.

Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem tanah suci.

Dia merasa setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.

Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun.

Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan León pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar.

Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan.

Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya.

Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur.

Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.


Perang

Perang Salib 1 (1095)

Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman[14], berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina.

Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar.

Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa).

Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja.

Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya.

Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey.

Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.

Namun selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M.

Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

(1. Lainnya Tentang Perang Salib 1)

Setelah bangsa Norman menetap di Prancis dan menaklukan Inggris, baik Prancis dan Inggris, serta Kekaisaran Romawi Suci, lebih kuat dibanding pada masa Charlemagne. Para raja dan ratu mereka mulai berpikir, seperti yang dulu pernah terpikir oleh Charlemagne,untuk menaklukan seluruh Mediterania dan mendirikan kembali Kekaisaran Romawi kuno. Secara khusus, mereka ingin merebut Yerusalem, kota Yesus Kristus, dari tangan Fatimiyah Islam yang menguasainya.

Pada 1095 M Paus Urbanus berpidato di Clermont di Prancis selatan, di mana ia menyeru orang-orang untuk mengangkat senjata dan berperang untuk membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Fatimiyah. Orang-orang begitu bersemangat, bahkan anak-anak dan orang tua juga ingin ikut pergi.

Saking bersemangatnya, beberapa kelompok berangkat ke Yerusalem sebelum kelompok utama diorganisir. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan meruntuhkan tembok Yerusalem begitu mereka tiba di sana, jadi mereka tidak perlu bertempur atau membawa senjata.

Beberapa dari mereka bahkan tak membawa uang sedikit pun. Sebagian besar kelompok kemudian mendapati bahwa berkelana dan bertempur itu lebih sulit dari dugaan mereka, dan sebagian besar di antara mereka akhirnya meninggal dalam perjalanan. Satu kelompok memutuskan bahwa terlalu sulit untuk pergi ke Yerusalem dan memerangi Fatimiyah, dan lebih memilih untuk berhenti di Jerman untuk memerangi Yahudi. Ribuan orang Yahudi dirampok dan dibunuh oleh pasukan salib ini, hanya karena mereka bukan orang Kristen.

Pada akhirnya pada musim gugur 1096, pasukan salib utama berangkat ke Yerusalem. Mereka menggunakan rute yang berbeda-beda, sebagian pergi lewat darat dan sebagian lewat laut, menuju Konstantinopel. Di sana Kaisar Alexio cukup terkejut melihat mereka dan tidak terlalu senang. Dia sempat takut pasukan itu akan menyerang kekaisarannya, tapi akhirnya ia mengirim mereka menuju Yerusalem.

Fatimiyah tidak terlalu waspada karena mereka mengira bahwa yang datang adalah pasukan kecil Romawi dari Konstantinopel yang hanya ingin bertempur sedikit di Suriah.

Pasukan salib tiba di Yerusalem pada Mei 1098. Mereka terkejut melihat betapa beradabnya kota itu, dengan adanya masjid Kubah Batu, pemandian air panas, dan kedokteran Islam yang maju.

Pasukan salib membuat banyak kesalahan dalam peperangan mereka. Namun Fatimiyah sedang bertempur juga melawan Seljuk, sehingga mereka tak mampu mempertahankan Yerusalem dengan baik. Pasukan salib berhasil merebut Yerusalem, serta beberapa kota penting lainnya di pesisir Mediterania. Mereka menetap di sana sebagai raja-raja Yerusalem, di negara baru mereka. Banyak orang Eropa yang pergi bolak-balik Eropa-Timur Tengah, mempelajari matematika dan pengobatan dari para ilmuwan Islam, serta membawa makanan baru, seperti gula, ke Eropa. Dengan demikian, Perang Salib Pertama merupakan suatu kesuksesan bagi orang Eropa, dan kemunduran bagi Fatimiyah.

(2. Lainnya Tentang Perang Salib 1)

Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir.

Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya.

Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus.

Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu."

"Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.

Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian.

Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.

Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda".

Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat.

Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri.

Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.

-----

Perang Salib 2 (1145–1149)

Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.

Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II.

Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi.

Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.

Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir.

Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

(Lainnya Tentang Perang Salib 2)

Setelah Perang Salib Pertama pada 1096 M berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen di sepanjang pesisir Israel dan Lebanon, para khalifah Fatimiyah yang dulunya menguasai daerah itu menjadi kesal. Pada 1144 M, seorang jenderal mamluk, Imaduddin Zangi, berhasil menyatukan cukup banyak tentara Turk dan Arab dalam pasukannya untuk kemudian menyerang kerajaan-kerajaan Kristen. Zangi tidak merebut Yerusalem, namun ia merebut kota Edessa di dekatnya di Suriah.

Di Eropa, orang-orang Kristen marah ketika mengetahui bahwa Edessa telah direbut oleh Turk. Paus lalu menyuruh Bernard dari Clairvaux (di Prancis) untuk menyerukan Perang Salib Kedua untuk mengalahkan Zangi. Raja muda Prancis, Louis VII, setuju untuk berangkat, bersama dengan ratunya, Eleanor dari Aquitaine. Begitu pula Conrad III dari Jerman, Kaisar Romawi Suci. Pada masa ini, Louis berusia 23 tahun, Eleanor 22 tahun, dan Conrad 51 tahun

Dari awal hingga akhir, perang ini mengalami banyak hambatan. Sebagian besar tentara Conrad terbunuh ketika berarak melalui Turki. Ketika Louis dan Conrad tiba di Yerusalem, mereka memutuskan untu menyerang Damaskus, sebagai pembalasan atas direbutnya Edessa. Akan tetapi, serangan mereka gagal dan pasukan salib pun harus pulang tanpa membawa kemenangan.

-----

Perang Salib 3 (1189–1192)

Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib 3.

Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip.

Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin.

Philip kemudian kembali ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib 3. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah.

Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

(Lainnya Tentang Perang Salib 3)

Ketika jenderal Mamluk Imaduddin Zangi meninggal, ia digantikan oleh putranya Nuruddin, yang berhasil menaklukan Damaskus. Setelah Nururddin meninggal pada 1174 M, seorang jenderal Kurdi yang kuat bernama Salahuddin berkuasa. Salahuddin merebut Mesir dari Fatimiyah, dan ia bahkan cukup kuat untuk memulai peperangan dengan kerajaan-kerajaan Kristen di Israel dan Lebanon. Pada 1187 M, Salahuddin menaklukan Yerusalem.

Sekali lagi bangsa Eropa pun marah. Paus kembali menyeru para raja Eropa untuk bersatu dan memerangi Salahuddin. Akhirnya Richard Hati Singa, raja Inggris; Philippe Auguste, raja Prancis; dan Friedrich Barbarossa, raja Jerman sekaligus Kaisar Romawi Suci, bersama-sama memimpin pasukan menuju Yerusalem. Sementara di Prancis dan Inggris ditetapkan pajak khusus untuk menghasilkan uang demi membiayai perang.

Akan tetapi, Perang Salib Ketiga, seperti yang kedua, menemui banyak permasalahan. Friedrich meninggal dalam perjalanan ke Yerusalem. Ia tenggelam ketika sedang mandi di sebuah sungai. Akibatnya sebagian besar tentaranya memilih untuk pulang.

Richard dan Philippe melanjutkan perjalanan ke Yerusalem melalui laut. Richard berhasil menaklukan pulau Siprus dalam perjalanannya, namun ia merebutnya dari kerabat Kaisar Bizantium, sehingga sejak itu Bizantium memusuhi Richard. Pasukan Prancis dan Inggris kemudian melanjutkan perang dengan mengepung Akre, pelabuhan utama di kawasan tersebut. Setelah mengepung selama hampir dua tahun, mereka baru berhasil menaklukannya. Richard membunuh 2700 tawanan di Akre karena tebusan mereka tidak dibayar hingga batas waktu yang ia tetapkan.

Setelah menang di Akre, Philippe tak mau lagi melanjutkan perang. Ia memilih untuk pulang ke Prancis, di mana kemudian ia sibuk menyerang wilayah-wilayah milik Richard di Prancis. Dengan demikian hanya Richard dan pasukan Inggrisnya yang masih bertahan untuk melanjutkan perang. Dalam keadaan seperti itu, Richard tak mampu mengalahkan Salahuddin sehingga akhirnya pada 1192 M, ia dan Salahuddin menyepakati kesepakatan damai. Isi kesepakatan itu adalah bahwa peziarah Kristen diperbolehkan keluar-masuk Yerusalem secara bebas, dan Salauddin tidak menyerang sisa-sisa kerajaan Kristen selama bertahun-tahun tahun ke depan. Dengan disepakatinya perjanjian itu, Richard pun pulang ke Inggris.

Namun ketika melintasi Jerman, Richard ditangkap oleh kaisar baru Jerman, Heinrich VI. Heinrich tak menyukai Richard karena Richard pernah berjanji akan membantu Raja Tancred dari Sisilia untuk melawan Heinrich. Heinrich memenjarakan Richard dan mengirim pesan kepada saudara Richard, John, yang isinya meminta tebusan untuk ditukarkan dengan Rihcard. Tebusan yang diminta Heinrich amat besar, bahkan pada akhirnya John harus membayar uang sejumlah tiga kali pendapatan tahunan Inggris. Untuk memeroleh uang tebusan, John menyuruh rakyat membayar pajak tambahan. Richard akhirnya berhasil pulang ke Inggris pada 1194 M.

-----

Perang Salib 4 (1202-1204)

Pada 1200 M, Paus Innosentius mulai meminta para penguasa Eropa untuk melancarkan Perang Salib Keempat, lagi-lagi sebagai upaya untuk merebut Yerusalem dari Ayyubiyah yang menguasainya. Sementara Salahuddin sudah meninggal pada 1193 M, dan pasukan salib merasa bahwa penerusnya lebih lemah sehingga akan mudah dikalahkan. Kali ini mereka melakukan sesuatu yang berbeda. Alih-alih menyerang dari utara, pasukan Eropa akan berlayar ke selatan menuju Mesir, kemudian dari sana mereka akan bergerak ke Yerusalem.

Untuk memperoleh cukup banyak kapal untuk mengangkut pasukan salib ke Mesir, dibutuhkan bantuan dari negara bahari yang kuat. Oleh karena itu pada 1022 M pasukan salib datang ke Venesia untuk menyewa kapal. Namun mereka tak memiliki cukup uang, sehingga Venesia menawarkan suatu kesepatan. Venesia mengizinkan pasukan salib membayar biaya sewa kapal seusai perang namun sebagai gantinya pasukan salib harus terlebih dahulu membantu Venesia merebut kembali kota Zara (di Hongaria modern), yang direbut oleh Hongaria beberapa tahun sebelumnya. Pasukan salib setuju utuk menyerang Zara meskipun Zara adalah kota Kristen. Sementara itu Paus tidak suka denga tindakan mereka sehingga ia pun memutuskan untuk mengucilkan pasukan salib yang melakukan penyerangan ke Zara.

Pasukan salib berhasil menaklukan Zara, dan hendak melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan kapal. Akan tetapi Alexios Komnenos, yang baru saja digulingkan dari posisinya sebagai kaisar Bizantium, meminta pasukan salib untuk membantunya berkuasa lagi. Ia berjanji bahwa ia akan membayar mereka jika ia berhasil bertahta kembali. Akhirnya, alih-alih berperang ke Mesir, pasukan salib setuju untuk membantu Alexios. Pada 1203 M, dengan dibantu oleh Venesia, pasukan salib menyerbu Konstantinopel, ibukota Bizantium, dan mengangkat Alexios sebagai kaisar lagi. Namun Alexios tidak memiliki uang untuk membayar pasukan salib. Untuk memperoleh uang, ia pun menarik pajak tambahan dari rakyat sehingga ia menjadi dibenci oleh rakyat. Saking dibencinya, Alexios dan ayahnya akhirnya dibunuh, dan seorang kaisar baru, Alexios V, naik tahta.

Pada 1204 M pasukan salib dan Venesia kembali menyerang, dan kali ini menjarah Kostantinopel. Seluruh wilayah Bizantium diambil alih oleh Venesia. Pasukan salib tak pernah tiba di Yerusalem, dan tak pernah berperang melawan Ayyubiyah. Mereka menjarah uang dan harta benda di Konstantinopel, kemudian pulang. Paus pun akhirnya mengizinkan mereka kembali ke Gereja.

*Periode perang salib ke 4 ini sering di sebut perang antara Kristen Roma dan Kristen Ortodoks.

-----

Perang Salib 5 (1217–1221)

Pada 1216 M, Paus Honorius III berhasil mendorong sejumlah orang Eropa untuk kembali melancarkan serangan ke Yerusalem agar bisa merebutnya dari Ayyubiyah. Kali ini, Paus yang akan memimpin pasukan salib alih-alih para raja Eropa. Friedrich II dari Kekaisaran Romawi Suci ingin ikut, namun Paus menolaknya. Paus menekankan bahwa perang salib ini untuk Paus, bukan untu raja. Beberapa pasukan Hongaria ikut serta.

Pasukan salib pergi ke selatan, mengikuti rencana awal Perang Salib Keempat. Pada 1218 M, pasukan salib bersekutu dengan sultan Seljuk Kay Kaus I, dan menyerang pelabuhan Damietta di Mesir. Mereka melakukan pengepungan yang lama, dan banyak orang di kedua pihak yang meninggal akibat penyakit. Pada 1219 M, pasukan salib berhasil merebut Damietta, namun kemudian malah saling bertikai memperebutkan kekuasaan di sana.

Pada 1221 M, pasukan salib bergerak ke Kairo dan berupaya merebut lebih banyak wilayah Mesir. Ayubiyyah memanfaatkan sungai nil untuk membanjiri jalan-jalan, membuat pasukan salib terperangkap. Agar dapat bebas, pasukan salib pun menyepakati perjanjian. Mereka menyerahkan kembali Damietta kepada Ayubiyyah kemudian kembali ke Eropa.

-----

Perang Salib 6 (1228-1237)

Tak lama setelah gagalnya Perang Salib Kelima, Friedrich II, Kaisar Romawi Suci, memutuskan bahwa ia ingin ikut serta dalam Perang Salib, karena ia tak dapat ikut dalam perang salib sebelumnya.

Friedrich memimpin pasukannya ke Akre, di Suriah. Ketika itu Akre dikuasai oleh Mamluk. Akan tetapi, Friedrich menghadapi permasalahan. Di negara asalnya, terjadi sengketa politik antara kelompok Guelf dan Ghibellin. Sengketa ini terus mengikutinya bahkan hingga ke Acre.

Friedrich kemudian memperleh tawaran dari Al-Kamil, saultan Ayyubiyah. Al-Kamil ingin menempatkan saudaranya sebagai penguasa Suriah sebagai pengganti Mamluk, dan ia membutuhkan bantuan dari pasukan Friedrich. Sebagai imbalannya, Al-Kamil akan menyerahkan Yerusalem, Nazareth, dan Bethlehem kepada Friedrich. Friedrich setuju dan akhirnya ia pun dinobatkan sebagai Raja Yerusalem pada 1229 M.

Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelahnya, Friedrich harus kembali ke Jerman untuk menyelesaikan permasalahan di sana. Ia meninggalkan Yerusalem tanpa menempatkan pasukan untuk melindungi kota itu. Kesepakatan Friedrich berlangsung untuk sementara, namun Ayyubiyah lama-kelamaan menjadi lemah. Akhirnya pada 1244, Mamluk, yang mulai bangkit di Asia Barat, berhasil merebut Yerusalem.

-----

Perang Salib 7 (1248-1254)

Perang Salib Ketujuh tidak dimulai oleh Paus, melainkan oleh Raja Louis IX dari Prancis, yang kelak dikenal atas ketaatannya kepada Tuhan. Setelah Mamluk merebut Yerusalem pada 1244 M, Louis mengumumkan perang salibnya (pada 1245 M). Louis mengumpulkan uang dari sedekah untuk gereja dan kemudian berlayar menuju Siprus pada1248 M (padausia 34 tahun).

Dari Siprus, Louis menyerang dan merebut pelabuhan Damietta di Mesir, yang pernah menyebabkan banyak permasalahan pada Perang Salib Kelima. Ayyubiyah kini amat lemah dan tak mampu menghentikan Louis. Memanfaatkan Damietta sebagai basis, Louis berusah menyerang Kairo, namun Mamluk tiba dan mengalahkannya. Louis ditawan, dan untuk menebusnya, Prancis harus membayar banyak emas serta menyerahkan kembali Damietta.

Louis dan pasukannya pergi ke Akre di Suriah. Di sana, ia bernegosiasi dengan Mongke, Khan Mongol, untuk meminta bantuan melawan Mamluk, namun Mongke tidak tertarik. Pada 1254 M, Louis, kini berusia 40 tahun, telah kehabisan uang. Selain itu, ibunya, Blanche dari Castile, telah meninggal. Blanche memerintah Prancis selama Louis pergi, dengan dengan meninggalnya Blanche, Louis harus pulang untuk mengurus negaranya.

-----

Perang Salib 8 & 9 (1270-1272)

Pada tahun 1270, dengan mengabaikan penasehatnya Raja Louis IX melakukan serangan lagi kepada bangsa Arab di Tunis in Afrika Utara.

Dia memilih waktu serangan pada saat musim panas sedang mencapai puncaknya, namun dia dan pasukannya terkalahkan oleh wabah penyakit disentri. Raja Louis IX sendiri akhirnya meninggal.

Ini merupakan akhir dari usaha besar untuk mengambil alih tanah suci Yerusalem.

Mamluks, yang dipimpin oleh Baibars sendiri, sampai disini sudah merebut dan menguasai tanah suci Yerusalem.

Sementara itu calon raja Edward I dari Inggris yang hendak memipin perang salib dengan Louis IX menunda rencananya dan tidak datang di Afrika Utara sampai tahun 1270.

Mei tahun 1271 setelah meninggalnya Raja Loius IX menuju Yerusalem melewati Sisily dan lalu Acre. Pasukannya yang berjumlah kecil ketika sampai di Yerusalem dapat dengan mudah dikalahkan oleh Baibars.

Selanjutnya walaupun dia mendengar kabar kematian ayahnya dan kenaikan tahta baginya sebagai penerus kerajaan di tahun 1271 dia tidak kembali ke Inggris sampai tahun 1274. Misi menyerang tanah suci gagal.

Periode selanjutnya, usaha-lain lain untuk merebut Yerusalem seperti yang dilakukan oleh pihak Kristen seperti Raja Richard 'The lion heart' tahun 1192 namun gagal. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.

Di lain tempat di Barat (Eropa) perang salib yang lain tidak berhenti, di Spanyol misalnya perang yang menurut para sejarawan Kristen berlanjut sampai berakhirnya kekaisaran muslim di Spanyol terkalahkan oleh Ratu Isabella tahun 1492.

-----


Kondisi sesudah Perang Salib

Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan chauvinis yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks Timur.

Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.

Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.

Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Ksatria Hospitaller. Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta.

Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

Benua Eropa

Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma. Perang Salib juga menimbulkan kenangan pahit.

Banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.

Politik dan Budaya

Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.

Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.

Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.

Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.

Perdagangan

Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.

Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.

Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.

Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.

Dunia Islam

Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.

Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri.

Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”


Komunitas Yahudi

Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi.

Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat.

Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.

Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.

Pegunungan Kaukasus

Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib.Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.

(S)

0 komentar:

Posting Komentar