Jumat, 15 Januari 2021

Api Dibukit Menoreh (ADBM) 1-002

WIDURA mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”

“Belum paman” sahut Sedayu, “Kakang Untara masih akan tinggal di rumah. Tugasnya di sekitar Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya, “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”

Agung Sedayu menggerutu di dalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya di hadapan orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya, “Adakah Untara akan segera menyusul?”

“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu, “Luka itu agaknya parah juga”

“Baiklah” berkata Widura itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata, “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung-lumbung itu?”

“Tentu adi” jawab Demang itu, “Sebab apabila lumbung itu lenyap, kami pun akan kelaparan, isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kami pun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk Pajang”

“Terima kasih kakang” sahut Widura, “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka di halaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”

Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata di jalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengara pun yang terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan.

Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul di pringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.

Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak disangkanya bahwa di dalam laskar Pajang itu pun ada di antaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus.

Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.

Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk di sudut ruang itu. Katanya, “adakah Ki Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”

“Ya” Widura mengangguk, “Aku sependapat”

“Kalau demikian” orang itu meneruskan, “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.

Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.

Widura pun kemudian menjawab, “Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun”

Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang, “Laskar di Karang Anom telah bergerak ke timur. Tidak ke barat”

“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kita pun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita”

Semua mata pun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.

“Kalau angger Untara sekarang ada di sini” desis orang setengar umur di sudut itu.

“Kenapa?” bertanya yang lain.

“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.

Yang berkata kemudian adalah Widura, “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka di prapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu, “Meskipun angger Untara tidak di sini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan Kepatihan itu?”

Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.

Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam, “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.

Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia berkata, “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata, “Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia beristirahat”

Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang di antara mereka berkata, “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”

Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura, “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu”

“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain.

Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.

Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar di tangannya itu berkata, “Apakah aku diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”

Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun anak itu pun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang di beberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar Widura itu.

Widura pun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.

Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya, “Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan kesaktiannya”

Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata, “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang”

“Ya” jawab Sidanti, “Aku pernah mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk menangkapnya”

Widura mengangguk-angguk. Ia pun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?

Kemudian berkata Widura itu, “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain, “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan macan itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”

Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya, “Baiklah. Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”

“Baiklah kakang” jawab Sidanti.

Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itu pun tersenyum, katanya, “Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan Angger Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya”

Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan menyebut nama Tohpati itu pun ia tak berani.

Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya, “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”

Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun yang dapat diucapkan.

Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian, “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”

Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.

Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Widura melihat keadaan itu. Maka katanya, “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri”.

Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya, “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda”

Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut, “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”

“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.

Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorang pun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.

Orang-orang yang hadir di ruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya, “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada”

Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan, “Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan”

Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh. Karena di balik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.

Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera berkata, “Adakah kita akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”.

Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata, “Beristirahatlah di pembaringanku Sedayu”

Orang-orang lain pun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik, “Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada di antara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorang pun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon perlindunganmu”.

Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itu pun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata, “Ya, ya, Bapak Demang”

Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih anakmas”

Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik.

Yang berdiri di paling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.

“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya, “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”

“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.

Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang di dadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya, “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya”

Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Dalam laskar Adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.

“Siapa?” bertanya anak muda itu.

“Angger Sidanti” jawab ayahnya.

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja tangannya telah terpilin ke belakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit.

Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.

“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya, “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidanti pun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali. Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunya pun akan masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamai pun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.

Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan mereka.

Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung itu pun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itu pun segera menyembunyikan diri di belakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.

Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu.

Anak muda itu pun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada di dalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir di seluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya, “Apakah kau akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”

Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah tongkat baja putih. Di ujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.

Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya, “Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamu pun akan segera di tempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani kelak menjadi urusanku”

Sidanti tersenyum. Terbayang di dalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.

Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik di belakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.

“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.

Swandaru duduk di sampingnya, dan dijawabnya lirih, “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”

Sidanti mengangguk

“Sendiri?”

Kembali Sidanti mengangguk.

“Aku ikut” minta Swandaru

“Jangan gila” desisi Sidanti.

“Kenapa?”

“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung”

“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”

“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu”

“Aku di sini” bantah Swandaru.

Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan, “Kembali. Atau aku tampar mulutmu”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu ia pun diam.

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.

“Kembali ke kelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandaru pun segera merangkak ke kelompoknya.

Widura telah berdiri di balik sebatang pohon yang berdiri di dekat perapatan. Dari kelokan jalan di ujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung. Namun mereka tidak melewati jalan di simpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal Putung.

“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang.

Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena itu katanya, “Bukan induk pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing lawannya ke arah yang keliru”

Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Macan yang cerdik”

“Macan itu memang berotak terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya ke utara, maka induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan ini”

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan di dalam dadanya, karena itu ia bertanya, “Kita menunggu induk pasukan?”

“Ya, “jawab Widura.

”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas di atas pematang itu?”

Widura berpikir sejenak, “Sedang aku pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak buahnya, “Sonya” katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri di sampingnya, “Adakah kau masih jagoan lari?”

Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan. “Pancinglah orang-orang itu”

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.

Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya, “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya, “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka, “Apa selanjutnya?” ia bertanya.

“Serahkan kepada kami” jawab Widura.

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.

“Sekarang?” bertanya orang itu.

“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.

Sonya itu pun kemudian merangkak, dan melompat kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring, “Hei, siapa itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”

Di dalam kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan di pematang itu pun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti dan memandang ke arah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil mengulangi pertanyaannya.

Rombongan yang tak begitu besar itu pun berhenti. Mereka tegak berjajar di pematang seperti wayang sedang di simping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika mereka mendengar suara Sonya berteriak, “Hei dengar, desa kalian akan mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang”

Orang-orang dalam rombongan itu pun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu telah melihat induk pasukannya.

Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka masih tegak di atas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang di antara mereka bergumam sesama, “Siapakah dia?”

Kawannya menggeleng, jawabnya, “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan”

“Berbahaya” sahut yang lain.

“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itu pun berkata, “Tangkap orang gila itu”

Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain masih diam mematung.

Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.

Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya di dalam hati, “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak, “Hei, ternyata kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran di sebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.”

“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.

Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itu pun mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.

Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan perapatan.

Kawan-kawan mereka pun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.

Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain, maka ia pun berlari terus ke Sangkal Putung.

Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura, demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem” geramnya, “Itulah induk pasukan mereka”

Demang Sangkal Putung itu pun mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur, seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.

Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak di pematang. Dan dengan serta merta ia berteriak, “Hei, kenapa kalian masih di sana?”

Pemimpin rombongan itu pun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema di kademangan Sangkal Putung. Kentong titir.

“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”

“Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.

Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak, “Dari mana kau tahu?”

“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan” Sahut yang di pematang.

“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?”

“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal”

Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan keningnya.

“Berhenti di tempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang di hadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan cermat di setiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih tegak di pematang, “Jalan terus, kami pun akan mengikuti jalanmu itu”

“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit”

Demang Sangkal Putung itu pun menggeleng-geleng pula. Katanya, “Apakah yang akan kita lakukan?”

Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata, “Kita harus cepat mulai, sebelum jarak di antara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat di muka hidung kita”

Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di sampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.

Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan Kepatihan itu tidak akan lewat di simpang empat.

Kepada Ki Demang, Widura berkata, “Bapak Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya”.

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.

Sidanti tersenyum. Ia pun telah tegak di belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung ke arah Macan Kepatihan.

Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu ia pun segera berteriak nyaring, “Siapkan senjata kalian!”

Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja di hadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka.

Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya, “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”

Kedua laskar itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya, “Jangan kembali, langsung ke jantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada di sana dan bunuh semua orang!”

Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu ia pun berteriak pula, “Swandaru, cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain tetap pada rencana!”

Swandaru pun segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading di tangannya. Terdengarlah anak itu berkata, “Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang?”

“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.

“Adakah Macan Kepatihan itu di sana?” bertanya anak itu pula.

“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”

Swandaru yang gemuk itu pun kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding di tanah-tanah yang becek. Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi di sawah. Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itu pun segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak pula memekakkan telinga.

Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura berserta laskarnya. Anak-anak itu pun menjadi semakin bernafsu melatih diri. Karena itu, maka mereka pun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka.

Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. Karena itu, maka beberapa orangnya pun diperintahkannya untuk membantu mereka, serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena kekalahan-kekalahan kecil.

Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itu pun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itu pun dapat dipatahkan pula oleh pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan yang pendek itu pun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itu pun laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung.

Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.

Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya, “Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”

Kemudian Widura itu pun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup di antara kesibukan laskar kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.

Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya di tengah-tengah sawah yang juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan. Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu terpental jatuh.

Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata, “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?”

Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu?”

“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada di dalam pertempuran”

“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?”

“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti.

Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura di antara laskar lawannya. Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa lampaunya.

“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.

“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya. “Selesaikan anak ini” katanya.

Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itu pun segera menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.

“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti.

Wajah Macan Kepatihan itu pun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.

Sementara itu langit pun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya di tangan Sidanti itu. Tohpati itu pun terkejut. Terdengarlah ia menggeram parau, “Tambak Wedi”

Sidanti masih tersenyum. Jawabnya, “Kau kenal nama itu?”

“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”

Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya.

“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari persahabatannya. Bahkan kini muridnya di tempatkannya di pihak Pajang”

“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”

“Pamanku pun berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara, maka tunduklah ia ke arah angin itu, bila angin kemudian berputar keselatan, batang ilalang itu pun berputar pula”

“Cukup” teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu ia pun segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.

“Senjata itu ada di tanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.

Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.

Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itu pun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali tidak mencemaskannya.

Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat memanfaatkan kedua tajam senjatanya di ujung dan pangkalnya itu. Nanggala itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.

Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi, seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap di tubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk tengkorak kecil.

Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing.

Di sekitar mereka pun pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak buahnya hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup di segala titik pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada di sampingnya.

Di tengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itu pun bertempur dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk seterusnya mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung mereka akan habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula karenanya. Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah sebabnya, maka kadang-kadang mereka menjumpai perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa di antara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung jawab ada pula di antara mereka. Meskipun betapa berat hati, Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang di tangannya harus diayunkan, apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula di antara mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit.

Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan kian kemari hampir di seluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Sidanti pun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamai pun tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu.

“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya di dalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya – Tohpati dapat berubah menjadi asap.

Meskipun demikian, betapa pun garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap melawan Macan Kepatihan itu betapa pun berbahayanya.

Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang berputar-putar di telinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam di belakang garis semula.

Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab di samping anak muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar di sepanjang garis pertempuran. Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya.

Hudaya pun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada beberapa orang lain. Dengan garangnya orang yang hampir di seluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia menyerang sambil berteriak, “Sidah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”

Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan geramnya ia memjawab, “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta”

Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun di dalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata di dalam hatinya, “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan segenap urat darah” Walau pun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang.

Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian itu, Citra Gati tersenyum. “Hem, desisnya alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada di antara kita.” Tetapi Citra Gati pun tidak sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera menyelinap di antara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya, “Kita yakin atas kemenangan kita, majulah.”

Kemudian Citra Gati itu pun berdiri di dalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk melawan Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.

Tetapi anak buah Macan Kepatihan itu pun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu dengan serta merta dua orang lain pun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang diharapkan. Demikian agaknya orang-orang Jipang itu pun telah bersiap pula apabila pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu.

Keadaan Sidanti pun semakin lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru.

Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-ke ujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itu pun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri di sekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.

Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widura pun menjadi cemas. Karena itu segera ia meloncat,menyusup di antara pertempuran itu mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya digaris pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itu pun telah memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga.

Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada di sampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya di hadapan dadanya, “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”

“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah.

Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya.

Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.

“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan itu dengan lemahnya tergantung di sisinya tanpa dapat digerakkannya.

Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tenaganya telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan yang terluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya.

Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya di tangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya. Walau pun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya.

Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya, “Paman Widura, kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”

“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura, “adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku di sini. Nah, jangan cari yang tidak ada”

“Bagus” teriak Tohpati, “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”

Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, betapa pun sakti musuhnya itu.

Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.

Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang berpengalaman.

Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu maka walau pun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun Widura pun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun pedang Widura pun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.

Di sudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati yang bertempur di tengah-tengah sawah itu pun kemudian semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang di antara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan.

Namun, keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa di atas segala orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apa pun yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widura pun segera mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.

Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itu pun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnya pun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu diperhitungkan.

Karena itulah maka Tohpati itu pun segera mengamuk sejadi-jadinya.

Tetapi betapa pun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi di antara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan ia pun telah berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting di tanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar bersama-sama.

Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung di dalamnya nafas maut.

Widura pun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apa pun yang terjadi.

Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itu pun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung di sekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itu pun terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan menyerangnya.

Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak, “Swandaru, jangan gila. Pergilah”.

Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpaksa melawan pedang yang terjulur langsung ke dadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura.

Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapa pun besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu , bahwa di samping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati mau pun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?

Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan demikian korban dikedua belah pihak pun semakin bertambah-tambah. Apalagi di pihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpati pun segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apa pun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak, “Tinggalkan pertempuran. Segera!”

Laskar Jipang itu pun adalah laskar yang terlatih. Mereka pun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil ke depan melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itu pun kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin.

Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itu pun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya.

Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik. “Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya. “Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”

Laskar Tohpati itu pun kemudian mencapai sebuah desa di belakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran di antara pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini. Di antara pohon-pohon liar di halaman yang kurang terpelihara dan di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura itu pun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada di sekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.

Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa kedua laskar itu bertempur kembali di tempat yang terbuka, namun korban akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah, “Hentikan pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.

Demikianlah maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari telah berada di atas kepala mereka.

Widura pun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cedera di antara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka.

Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan mau pun lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas di antara kawan dan lawan. Apalagi di antara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya.

Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga di halaman dengan senjata apa saja di tangan mereka.

Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu.

Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.

“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.

“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”

“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?”

“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. “Sebagian di kademangan dan sebagian di lumbung desa”

“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk, “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.

Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula, “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”

“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”

“Mampuslah mereka” geram orang itu.

Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.

Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan di dada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.

“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itu pun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis, “Alangkah kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.

Maka, di pendapa kademangan itu, di atas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.

Sedayu, yang berada dikademangan itu pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk ke pringgitan. Terbata-bata ia bertanya, “Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu paman?”

Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.

Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan kesudut ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya.

Di tangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang duduk di sampingnya, “Untunglah, bukan kumisku yang terkelupas”

“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning di ujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya. “Ngeri”, gumamnya.

“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.

“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.

Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”

“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanya pun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.

Sidanti tidak tampak duduk di antara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya di sana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu.

“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.

Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.

Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil, “Mirah, Sekar Mirah”

Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya, “Kakakmu memanggil”

Sekar Mirah menyerutkan keningnya, “Biarlah. Kakang terlalu manja”

Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru, “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”

“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.

“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.

Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti, “Jangan terlalu manja Swandaru”.

Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu, “Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya.

Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun daun kemuning. “Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali masuk kedapur dan berlari ke pendapa sambil menyambar sepotong paha ayam.

Di pringgitan, Widura kini sudah duduk di muka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi digaris pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata, “Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”

Keduanya kemudian berdiam diri. Namun di hati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya, “Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”

“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya ia pun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.

“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.

“Bukankah di sini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.

”Ah” Sedayu mengeluh.

Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya, “Adakah kau sempat beristirahat?”

Sedayu menggeleng, “Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan, “Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring”

Widura pun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah diatara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat di wajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.

Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiri pun gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung ketika Demang itu berkata, “Ternyata angger pun tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada dikademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapa pun lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik di pendapa dan di halaman, sehingga dengan demikian setiap orang yang berada dikademangan ini, baik perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, mau pun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada di antara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger ini”.

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung.

Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya di dalam hati, “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut di hadapannya, agaknya tak berkenan di hatinya”

Tetapi Widura itu pun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widura pun kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu.

Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang berempur disimpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada dikademangan itu mendapat bagiannya.

Widura pun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi ke dalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.

“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”

Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.

Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Di tempatkannya beberapa orang pengawas di luar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur di malam hari.

Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur di pringgitan bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram di atas tikar pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya masih saja duduk di sampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga keluwih.

Memang, malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.

Tiba-tiba Widura itu pun bergumam, “Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada di tempat ini. Di sini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi”

Widura itu pun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan di tempat ini, keamanannya pun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.

Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itu pun hanyut kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar di dalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi di antara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Di samping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Ke rumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja di daerah Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari pulau ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah tentu di perjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itu pun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih senang merendam dirinya di rumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.

Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi di desak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itu pun laki-laki pula. Agung Sedayu.

Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap pertentangan yang timbul. Di dalam pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup di antara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya kedalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan daripada Nya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengam pun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.

Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri.

Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet dilututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itu pun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan anak-anaknya itu pun telah mencoba mengembangkannya.

Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.

Angan-angan Widura tentang masa lampau itu pun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihantnya Widura masih duduk di sampingnya, maka terdengar ia bertanya, “Mengapa paman belum tidur?”

Widura menggeleng, “Belum Sedayu”

“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”

Sekali lagi Widura menggeleng, “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”

Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.

Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga diregol depan.

“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.

“Tidak” jawab orang itu.

“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata, “Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.

“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.

Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Di pendapa dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada di antaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba dahi mereka dan berkata, “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh”

Kemudian ia berjalan di antara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Di sudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang sedang tidur.

Ketika ia melangkah masuk ke pringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya orang itu pun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya.

Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu ke dalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya.

Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat.

Demikianlah, Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan mereka. Sebab di perjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.

Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan di tangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lain pun segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim orang untuk menjemputnya.

Kali ini Widura dan rombongannya berjalan ke arah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya.

Di sepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di padukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itu pun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal di pinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorang pun dari mereka yang mengenalnya.

Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan di padukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat di desa-desa itu pun tak akan dapat memberikan perlawanan apa pun seandainya orang-orang dalam satu gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka memberikan segala barang miliknya.

Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus di hati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat tikungan di hadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang

Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka di bulak yang panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata, “Di ujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”

“Kiai Gringsing” Widura mengulang.

“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh di belakang, maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.

“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya”

“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”

Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kuda pun belum pernah didengarnya. “Orang aneh” desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata apapun”

Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan di ujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus.

Ketika Agung Sedayu melihat desa di hadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya di dalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir.

Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi saksi.

Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.

Akhirnya desa di hadapan mereka itu pun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi.

Agung Sedayu segera menuju ke rumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka di sebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.

Maka Agung Sedayu pun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil, “Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya, “Sedayu, jangan masuk”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada di dalamnya”

“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayu pun meloncat dan berlari menjauh.

Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab, “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada di dalamnya”

Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.

“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.

“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”

Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Juga ke belakang rumah?”

Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang ke rumah ini sesudah aku”

Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya, “Lihatlah ke belakang”

Dua orang dari mereka pun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati ke belakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Di belakang rumah itu, terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itu pun dilaporkannya kepada Widura.

Widura mengangguk-angguk, “Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura bertanya, “Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”

“Aku kira tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.

Widura mengangguk-angguk. Ia pun tak melihat bekas-bekas kaki kuda di antara tanaman yang rusak itu. Karena itu Widura pun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir. “Kita lihat rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata, “Awasi keadaan”.

Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju ke pintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi, dan telinganya pun tidak mendengar sesuatu. “Ki Tanu” ia memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apa pun di dalam rumah itu.

“Hem” geramnya, “kosong”.

Sedayu yang selalu mengikutinya pun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan diamben tengah. “Itulah” katanya.

“Apa” Widura terkejut.

“Bantal” jawabnya.

“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?”

“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.

Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu Widura pun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu di dalam sentong-sentong itu. Di sentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok ke dalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah di dalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan di dalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya.

Ketika Widura sudah pasti bahwa di dalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka ia pun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi.

Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan di lorong desa itu. Tetapi orang itu pun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang di halaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menoleh pun tidak.

“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangnya.

Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka ia pun segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itu pun segera dapat disusulnya. “Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.

Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab, “Aku….. aku tidak berlari tuan”

“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”

Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. Di dalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriya pun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya.

Karena itu, maka demikian orang itu sampai di hadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar tergantung di pinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek, “Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”

Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”

“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.

Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih. “Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah di sekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya, “Ki Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”

“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.

Widura menjadi semakin heran, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.

Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri dihapannya itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan.

Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak, “Diam!. Jawab pertanyaanku!”

Orang itu pun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk di tanah dengan hati yang dicengkam kekawatiran.

“Siapa namamu?” bertanya Widura.

“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.

Nama yang aneh. Widura sempat bertanya, “Kenapa Sepi?”

Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya, “Aku tidak senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”

Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula, “Dimana rumahmu?”

“Di sebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.

“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali, “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”.

“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.

Widura pun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut kepadanya. Katanya, “Kau kenal penghuni rumah ini?”

“Kenal tuan” jawab orang itu.

“Namanya?” bertanya Widura.

“Ki Tanu Metir”

“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Ke sawah barangkali? Atau kesungai?”

Orang itu menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu tuan”

Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanya…

0 komentar:

Posting Komentar