Jika penyucian lebih ditekankan pada nonfisik, disebut tazkiyah, seperti dikenal dengan istilah tazkiyah al-nafs, sebagaimana digunakan dalam Alquran surah asy-Syams ayat 9, Qad aflaha man zakkaha (Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu).
Atau, dalam surah at-Taubah ayat 103. Khudz min amlihim shadaqah tuthahhirhum wa tuzakkihim biha (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka).
Konsep thaharah dalam literatur umum Islam lebih sering digunakan karena mencakup pembersihan berbagai aspek, baik aspek fikih, tarekat, maupun hakikat.
Thaharah adalah sesuatu yang amat fundamental di dalam Islam. Tanpa thaharah yang benar, sejumlah ibadah, khususnya ibadah-ibadah mahzhah, seperti shalat, terancam akan sia-sia. Alat penyuci ialah air dan tanah, sebagaimana dijelaskan di dalam Alquran:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau berhubungan dengan istri, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur. (QS al-Maidah [5]: 6).-----
Dalam konsep thaharah sering kali Allah SWT lebih menjelaskannya secara detail ketimbang hal-hal yang bersifat fardhu.
Misalnya, konsep shalat dan haji sebagai bagian dari rukun Islam hanya diperintahkan secara global, seperti dalam surah al-Baqarah ayat 43 Aqim al-shalah (Dirikanlah shalat).
Petunjuknya secara detail hanya ditemukan di dalam hadis Shallu kama raitu muni ushalli (Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat).
Sedangkan konsep thaharah, misalnya wudhu, dijelaskan secara mendetail di dalam Alquran sebagaimana ayat di atas. Dari segi ini wajar jika muncul berbagai pandangan ulama tentang thaharah mulai perdebatan panjang tentang kualitas dan kuantitas air dan debu sebagai alat penyuci sampai pada objek-objek anggota badan yang harus dibasuh.
Kalangan ulama fikih lebih menekankkan aspek legal-formalistik ajaran karena itu fikih sangat concern terhadap rukun dan syarat. Termasuk, secara detail membedakan syarat wajib dan syarat sah sebuah ajarah (khithab). Konsep tarekat lebih menekankan hikmah di balik ajaran.
Ajaran secara fiqhiyyah sudah dianggap seharusnya dilaksanakan, namun tidak cukup hanya dengan itu. Tarekat menuntut kepuasan fiqhiyyah dan sekaligus kepuasan batin. Karena itu, pengamalan lahiriyah dan pengamalan batiniyah mesti paralel.
Konsep hakikat lebih sempurna dan lebih khusus lagi karena segalanya dihubungkan dengan Tuhan. Tidak cukup hanya dengan kepuasan syar’iyyah dan tashawwufiyyah, tetapi dengan kepuasan ilahiah (divine satisfaction). Sedangkan, konsep neurologi lebih menekankan efek neurologis dan psikologis terhadap hikmah thaharah.
-----
Jika kita mampu menyinergikan pengamalan thaharah dengan mengadopsi pendapat-pendapat ulama-ulama fikih, ulama tarekat, ulama hakikat, dan dengan mengindahkan pendapat para neurolog, sudah tentu kita akan meraih keagungan di dalam beribadah.
Semakin bersih dan suci badan, pikiran, jiwa, dan hakikat diri kita, semakin besar pula kemungkinan untuk bisa meraih maqam lebih tinggi di mata Allah SWT.
Dalam pandangan ahli ma’rifah, wudhu yang sempurna bukan hanya akan membuat kita bersih dari hadas besar dan kecil.
Tetapi lebih penting dari itu, juga mampu membersihkan kita dari noda-noda kemusyrikan, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surah at-Taubah ayat 28. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.”
Sebaliknya, orang-orang yang melakukan thaharah secara sembrono atau sama sekali mengabaikannya karena mungkin ikut-ikutan dengan orang lain yang tidak mau repot maka Allah SWT mengancamnya.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS al-Isra’ [17]:36).Dalam ayat lain ditegaskan,
Pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesaat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat? (QS al-Jatsiyah [45]:23).Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa sistem thaharah yang sempurna dilakukan seseorang bukan hanya membersihkan fisiknya, melainkan juga nonfisik.
Dengan kata lain, kekuatan thaharah dapat membersihkan anggota badan, menjernihkan dan menyehatkan pikiran, serta menyucikan hati. Ini semua bisa terjadi jika kita terus dan terus belajar.
(S)
0 komentar:
Posting Komentar