Minggu, 15 November 2015

Shalat Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat


Sesuai dengan namanya, shalat berasal dari kata shala-yushla, kemudian membentuk kata shalla-shalah(t) yang berarti doa, zikir, dan ketaatan.

Derivasi kata tersebut lahir kata wushlah (sambungan), shilah (hubungan), washl (tersambung), wishal (ketersambungan), shaulah (sambungan), dan shalaa (ketersambungan).

Shalawat Allah kepada hamba-Nya artinya menyampaikan ajakan kepada hamba-Nya yang utama untuk mendekati diri-Nya dan menjadikannya sebagai khalifah di jagat raya.

Hamba Tuhan tersebut disebut mushalliyan, yakni hamba yang mengikuti jalan kebenaran yang diamanahkan kepadanya (mustakhlaf fih). Hamba yang demikian ini menjadi wahana penampakan (madhhar) diri-Nya sebagaimana tergambar di dalam al-Asma’ al-Husna.

Shalawat Allah kepada hambanya dilukiskan dengan indah di dalam ayat, 
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS al-Ahzab [33]:56).

Shalawat dapat disandarkan kepada hamba dari satu sisi dan pada sisi lain dapat pula dinisbahkan kepada Tuhan. Jika shalawat disandarkan kepada Tuhan (al-Haq) maka kalimat shalawat tersebut bermakna rahmat, kasih sayang, limpahan, kelembutan, kenikmatan, cinta, belas kasih, kebaikan, ampunan, dan ridha.

Jika dinisbahkan kepada manusia maka shalawat bermakna doa, kepatuhan, ketenteraman, khusyuk, ketaatan kepada yang dicintai dan diridhainya. Kata shalawat mengimplikasikan makna kedekatan, keakraban, dan cinta-kasih antara kedua belah pihak, yakni subjek dan objek shalat.

Hubungan (shilah) antara Allah dan hamba-Nya melalui hubungan khusus (shaulah) membuat hamba itu merasa tenteram, tenang, aman, damai, dan bahagia. Inilah yang yang dimaksud di dalam ayat, "Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha [20]:14). Dan, "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’d [13]:28).

Dengan demikian, shalat berfungsi sebagai wushlah karena menyambung antara dua bagian menjadi satu yang sebelumnya berpisah.

-----

Shalat berfungsi sebagai shilah karena sebagai media penyampaian sebuah pemberian yang dimohon sang pemohon.

Shalat berfungsi sebagai shaulah karena menjadi sarana penghubung antara Sang Mahakuasa dengan sang makhluk yang lemah.

Shalat berfungsi sebagai salwun karena sang hamba penyembah menyungkurkan diri kepada Zat Tuhannya Yang Mahamulia. Sedangkan du’aun ialah permohonan dari sang hamba yang butuh kepada Tuhan Sang Pemberi (al-Wahhab).

Wushlah (komunikasi) antara Tuhan dengan hamba-Nya dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain, dengan cara penjelmaan, tanazul (turun), dan tadalli (pendekatan) sebagai rahmat, nikmat, kelembutan, karunia, pemuliaan, kebaikan, dan berbagai kemungkinan lainnya.

Shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah dengannya (shalawat tersebut) menyampaikan hamba-Nya yang sempurna menuju kepada-Nya dan menjadikannya sebagai khalifah bagi-Nya kepada makhluk dan sebagai mushalliyan.

Artinya, mengikuti kebenaran (haq) yang diamanahkan (mustakhlaf fih) untuk ditampakkan berdasarkan bentuk-Nya dan penampakan sempurna dalam zat, sifat-sifat, asmaul husna, serta memeberitakan tentang-Nya.

Demikian juga, shilah (hubungan) Allah kepada hamba-Nya melalui penjelmaan khusus secara zat dan penjelmaan asma bagi berbagai hakikat pilihan dan ujian dan Ia memberinya (hamba) shaulah (koneksi) yang berasal dari kehendak dan kekuatan-Nya terhadap seluruh musuhnya. Inilah makna shalawat dalam pembahasan kita ini.

-----

Para ahli hakikat dalam ilmu huruf memaknai kata shalawat tersusun dari seluruh hakikat pertalian berdasarkan dari pecahan katanya, yaitu, wushlah, shila, washlu, wishal, shaulah, dan shalaa.

Sifat-sifat tersebut merupakan subtansi atau hakikat pertalian, penggabungan, dan hubungan. Perkongsian makna yang menghimpun dalam susunan-susunan ini adalah penggabungan, pendekatan, pengikutan, dan penyatuan.

Makna wushlah adalah bersambungnya sesuatu yang bergabung dan bergabungnya sesuatu yang bersambung yang sebelumnya telah berpisah. Sedangkan, shilah ialah menyampaikan pemberian yang diingini dan diminta dari Sang Pemberi kepada yang diberi.

Kemudian, shaulah adalah terkoneksinya sambungan gerakan qahriyah dari Allah kepada hamba. Adapun salwu ialah mencondongkan punggung untuk khusyuk. Terakhir, du’au ialah permohonan untuk sampainya apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.

Adapun “shalawat” hamba kepada Allah adalah merupakan pengembalian kembali dirinya kepada hakikat ciptaannya sebagai al-insaniya al-kamaliyyah al-kulliyah al-ahadiyah al-jam’iyyah dan mengikatnya dengan kehadiran (khadhrah) yang dari sananya memikul bentuknya dan darinya pula berawal dan berkembang.

Sementara, lima kulliyah berdasarkan al-hadharaatul khamsah al-ilahiyah adalah pertama hakikatnya, yaitu al-‘ain al-tsabit yang bentuknya hanya dalam pengetahuan Allah sejak pertama pada zaman azali dan berakhirnya.

Kedua, Ruhnya. Hakikat nafas rahmani yang terakses dari al-‘ain al-tsabit di atas. Ketiga, jasmaninya, yaitu bentuk dan posturnya secara fisik. Keempat, hakikat hati, ahadiyah jam’i rohaninya dan tabiatnya.

Terakhir akal, adalah kekuatan yang dengannya dapat mencermati berbagai hakikat dan merasionalkannya, mengetahui berbagai ilmu pengetahuan, baik secara global maupun detail.

(S)

Posting Terkait

0 komentar:

Posting Komentar