Tingkatan inspirasi Tuhan beragam.
Tidak semua kecerdasan yang hadir dalam benak kita adalah kreasi kita (Human Creation/HC), tetapi juga ada yang merupakan kreasi Tuhan (Divine Creation/DC). Disebut HC karena usaha manusia lebih dominan di dalam terwujudnya kecerdasan itu.
Sedangkan, DC yang lebih dominan atau proaktif di dalam terwujudnya kecerdasan itu ialah unsur kekuatan di luar diri manusia (baca: Tuhan). Ada yang mengatakan, HC adalah pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar, sedangkan DC adalah pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin.
Itulah sebabnya HC biasa juga disebut dengan 'ilm dan DC disebut dengan ma'rifah. HC bisa mengantar seseorang menjadi pintar ('alim), sedangkan DC mengantar seseorang menjadi bijaksana ('arif). Umumnya orang arif itu pintar. tetapi belum tentu orang pintar itu arif.
DC sesungguhnya bersumber dari inspirasi Ilahi (Divine Inspiration/DI). DI yang masuk di dalam diri manusia itu bertingkat-tingkat. DI yang paling istimewa turun dengan cara-cara tertentu melalui Malaikat Jibril yang diturunkan kepada manusia pilihan (Nabi/Rasul), maka itu disebut dengan wahyu.
Jika DI turun lebih sederhana kepada hamba pilihan Tuhan (auliya'), itu nanti disebut dengan ilham. DI juga bisa turun kepada setiap orang biasa, tentunya dengan melalui upaya-upaya khusus, maka itu disebut taklim.
Tingkat keabsahan wahyu sangat meyakinkan (haq al-yaqin), tingkat keabsahan ilham sedikit di bawah wahyu ('ain al-yaqin), dan keabsahan taklim sedikit di bawah ilham ('ilm al-yaqin).
Namun, ketiganya berasal dari sumber yang sama, Allah SWT. Bagi para arif, mereka akan selalu menaruh respek terhadap orang-orang yang memperoleh DI tanpa membedakan tingkatan-tingkatannya.
Dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata alim dan arif sering dipertukarkan. Seolah-olah kedua kata ini sinonim. Padahal, khususnya dalam perspektif tasawuf, keduanya amat berbeda.
-----
Alim dari akar kata 'alima-ya'lam berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata 'arafa-ya'rifu berarti memahami, mengetahui.
Bila sudah menjadi bentuk kata subjek, keduanya sudah mulai bisa dibedakan. 'Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan rasional atau murni HC. Sedangkan, arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan DI.
Ada ilmuwan, bahkan professor ('alim), tetapi penampilan dan akhlaknya seperti "kurang ajar". Sedangkan arif, mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi penampilan dan akhlaknya lebih bijak dan santun.
Orang yang arif jalan pikirannya lebih lurus dan jernih, hatinya lebih bersih dan tulus, perilakunya lebih leambut dan santun. Cara untuk menjadi 'alim bagi banyak orang tidak terlalu susah.
Yang penting ada kesungguhan, kemampuan (daya dan biaya), dan tekun belajar, insya Allah pasti dapat. Akan tetapi, meraih kearifan tidak cukup hanya dengan rajin belajar dan biaya yang cukup, tetapi lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah.
Dan pada saat bersamaan, lebih dekat pula pada objek ilmu, bahkan sewaktu-waktu merasakan adanya penyatuan dan kebersamaan antara subjek dan objek ilmu pengetahuan (al-'alim wa al-ma'lum wahid).
Bila Devine Inspiration/DI (Inspirasi Tuhan) yang masuk di dalam diri manusia itu bertingkat-tingkat, bisa dijabarkan sebagai berikut. DI yang paling istimewa turun dengan cara-cara tertentu melalui Malaikat Jibril yang diturunkan kepada manusia pilihan (Nabi/Rasul), maka itu disebut dengan wahyu.
Jika DI turun lebih sederhana kepada hamba pilihan Tuhan (auliya'), itu nanti disebut dengan ilham. DI juga bisa turun pada setiap orang biasa, tentunya dengan melalui upaya-upaya khusus, maka itu disebut taklim.
Bagi orang biasa, persyaratan untuk mengakses DI ialah kebeningan dan kebersihan jiwa. Bahasa santrinya: “al-'ilm nur, wa nur Allah la yuhda li al-'ashi (Ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak akan masuk di dalam hati yang gelap).
-----
Seseorang yang menuntut dan mencari kearifan disebut murid dan setiap murid membutuhkan pembimbing yang disebut mursyid. Antara murid dan mursyid, menurut Suhrawardi, harus klop dan simetris.
Antara murid dan mursyid memerlukan etika. Seorang murid dituntut memenuhi 13 syarat untuk bisa disebut murid dan seorang mursyid dituntut mampu melaksanakan enam syarat agar sah disebut sebagai mursyid. Jadi, tidak semua "anak sekolahan" (muta'allim) otomatis bisa disebut murid.
Demikian pula, tidak semua guru (mu'allim) bisa dianggap mursyid. Kata murid dan mursyid mengimplikasikan adanya unsur dan mekanisme ketulusan (divined) di dalamnya.
Murid dan mursyid sama-sama harus terikat di dalam satu etika khusus, yang di dalam tradisi pondok pesantren diabadikan di dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim.
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup oleh ilmu amat terbatas, seperti kata Alquran: “Wa ma utitum minal 'ilmi illa qalila (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian melainkan hanya sedikit).”
Sedangkan, yang biasa disejajarkan dengan makrifat ialah hikmah, yaitu sesuatu yang tanpa batas (unlimited), sebagaimana dikatakan dalam Alquran: “Yu'til hikmata man yasya', wa man yu'tal hikmata faqad utiya khairan katsira (Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki [oleh Allah], barang siapa yang mendapatkan hikmah itu, maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).”
Idealnya untuk seorang Muslim, harus memiliki kedua-duanya, ilmu dan makrifat. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan makrifat akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan akhirat.
Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan makrifat banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba. Khalifah dan hamba kedua-duanya menjadi tanggung jawab manusia, seperti kata Alquran:
"Kami tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku." "Sesungguhnya kami menciptakan (Adam dan anak cucunya) sebagai khalifah (di muka bumi)."
Kesempurnaan seorang manusia manakala menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba. Hubungan horizontal (hablun minannas) dengan sesama makhluk idealnya berbanding lurus dengan hubungan vertikal (hablum minallah).
Semoga Allah SWT menuntun kita untuk memiliki kedua-duanya, ilmu amaliah dan amaliah yang ilmiah. Alim sekaligus arif karena memiliki ilmu dan makrifat.
Bila sudah menjadi bentuk kata subjek, keduanya sudah mulai bisa dibedakan. 'Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan rasional atau murni HC. Sedangkan, arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan DI.
Ada ilmuwan, bahkan professor ('alim), tetapi penampilan dan akhlaknya seperti "kurang ajar". Sedangkan arif, mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi penampilan dan akhlaknya lebih bijak dan santun.
Orang yang arif jalan pikirannya lebih lurus dan jernih, hatinya lebih bersih dan tulus, perilakunya lebih leambut dan santun. Cara untuk menjadi 'alim bagi banyak orang tidak terlalu susah.
Yang penting ada kesungguhan, kemampuan (daya dan biaya), dan tekun belajar, insya Allah pasti dapat. Akan tetapi, meraih kearifan tidak cukup hanya dengan rajin belajar dan biaya yang cukup, tetapi lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah.
Dan pada saat bersamaan, lebih dekat pula pada objek ilmu, bahkan sewaktu-waktu merasakan adanya penyatuan dan kebersamaan antara subjek dan objek ilmu pengetahuan (al-'alim wa al-ma'lum wahid).
Bila Devine Inspiration/DI (Inspirasi Tuhan) yang masuk di dalam diri manusia itu bertingkat-tingkat, bisa dijabarkan sebagai berikut. DI yang paling istimewa turun dengan cara-cara tertentu melalui Malaikat Jibril yang diturunkan kepada manusia pilihan (Nabi/Rasul), maka itu disebut dengan wahyu.
Jika DI turun lebih sederhana kepada hamba pilihan Tuhan (auliya'), itu nanti disebut dengan ilham. DI juga bisa turun pada setiap orang biasa, tentunya dengan melalui upaya-upaya khusus, maka itu disebut taklim.
Bagi orang biasa, persyaratan untuk mengakses DI ialah kebeningan dan kebersihan jiwa. Bahasa santrinya: “al-'ilm nur, wa nur Allah la yuhda li al-'ashi (Ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak akan masuk di dalam hati yang gelap).
-----
Seseorang yang menuntut dan mencari kearifan disebut murid dan setiap murid membutuhkan pembimbing yang disebut mursyid. Antara murid dan mursyid, menurut Suhrawardi, harus klop dan simetris.
Antara murid dan mursyid memerlukan etika. Seorang murid dituntut memenuhi 13 syarat untuk bisa disebut murid dan seorang mursyid dituntut mampu melaksanakan enam syarat agar sah disebut sebagai mursyid. Jadi, tidak semua "anak sekolahan" (muta'allim) otomatis bisa disebut murid.
Demikian pula, tidak semua guru (mu'allim) bisa dianggap mursyid. Kata murid dan mursyid mengimplikasikan adanya unsur dan mekanisme ketulusan (divined) di dalamnya.
Murid dan mursyid sama-sama harus terikat di dalam satu etika khusus, yang di dalam tradisi pondok pesantren diabadikan di dalam kitab Ta'lim al-Muta'allim.
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup oleh ilmu amat terbatas, seperti kata Alquran: “Wa ma utitum minal 'ilmi illa qalila (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian melainkan hanya sedikit).”
Sedangkan, yang biasa disejajarkan dengan makrifat ialah hikmah, yaitu sesuatu yang tanpa batas (unlimited), sebagaimana dikatakan dalam Alquran: “Yu'til hikmata man yasya', wa man yu'tal hikmata faqad utiya khairan katsira (Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki [oleh Allah], barang siapa yang mendapatkan hikmah itu, maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).”
Idealnya untuk seorang Muslim, harus memiliki kedua-duanya, ilmu dan makrifat. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan makrifat akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan akhirat.
Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan makrifat banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba. Khalifah dan hamba kedua-duanya menjadi tanggung jawab manusia, seperti kata Alquran:
"Kami tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku." "Sesungguhnya kami menciptakan (Adam dan anak cucunya) sebagai khalifah (di muka bumi)."
Kesempurnaan seorang manusia manakala menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba. Hubungan horizontal (hablun minannas) dengan sesama makhluk idealnya berbanding lurus dengan hubungan vertikal (hablum minallah).
Semoga Allah SWT menuntun kita untuk memiliki kedua-duanya, ilmu amaliah dan amaliah yang ilmiah. Alim sekaligus arif karena memiliki ilmu dan makrifat.
(S)
0 komentar:
Posting Komentar