Minggu, 15 November 2015

Belajar dari Suasana Batin: Waspadai Kondisi Normal

Suasana batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal, saat semua kebutuhan tercukupi, apalagi berlebihan.
Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan.

Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda. Tapi, kebutuhan di dalam Islam dibedakan menjadi beberapa tingkatan.

  1. Pertama kebutuhan dharury, yakni kebutuhan pokok, seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri.
  2. Kedua, kebutuhan hajjiyat, yaitu kebutuhan yang penting, tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan tempat tinggal, kendaraan, dan alat komunikasi.
  3. Terakhir, kebutuhan tahsiniyyat, yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap, seperti perabotan bermerek, aksesori kendaraan, dan telepon genggam canggih.

Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati. Karena, perjalanan spiritual dalam kondisi seperti ini sering kali jalan di tempat. Bahkan, berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia.

Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, diuji dengan kebutuhan mendesak, atau dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan materi.

Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taraqqi) ke langit.

Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam shalatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.

Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Itulah sebabnya, Rasulullah pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madzlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan.

-----

Memang, dalam Islam dikenal ada dua sayap efektif yang bisa menerbangkan seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap sabar dan syukur.

Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan, seperti musibah, penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup.

Jika sabar menjalani cobaan itu maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan. Sayap kedua ialah syukur.

Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti saat mendapat rezki melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima.
Sayap sabar dan syukur sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan. Tetapi, pada umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang.

Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang teramat terhadap Tuhan (raja’), penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakal), dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).

Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan sementara semua kebutuhan hidup serbaberkecukupan.

Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sementara ia terperangkap di dalam dunia popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin, sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk beribadah, sementara perutnya kekenyangan.

Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan nyaman dengan kehidupan seperti itu sah-sah saja. Akan tetapi, jika ia lupa bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat maka pertanda hidup itu tidak berkah baginya.

Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi suasana batin yang hambar, kering, dan membosankan.

-----

Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan jiwa (al-gina an-nafs).

Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan materi, bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif, tetapi tetap efisien dan efektif.

“Dunia adalah cermin akhirat”, demikian kata hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah mahdzah, seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa pun membutuhkan biaya.

Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat semangat raja’ dan mujahadah di dalam diri.

Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan khalwat atau takhannus, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Gua Hira ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping istrinya Khadijah yang kaya, bangsawan, dan serba berkecukupan.

Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari gua yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan keluarga. Yang paling penting, ada suasana pemisahan diri (uzlah) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran.

Bisa saja dengan melakukan iktikaf di salah satu masjid, apalagi pada Ramadhan. Di dalam masjid kita berniat untuk beriktikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Alquran lebih banyak, shalat, tafakur, dan berzikir.

Niatkan bahwa masjid ini adalah Gua Hira atau Gua Kahfi yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.

Jika suasana batin dibiarkan berlalu tanpa pernah diselingi dengan rasa fakir, apalagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah di mata Allah. Bahkan, tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.

Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya, berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baka di akhirat.

Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan sedekah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita tafakur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim.

Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi:
La tahdzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita), Amin.
(S)

Posting Terkait

1 komentar:

  1. Amat berguna sekali..semoga penulis sentiasa dibarakahi Allah taala

    BalasHapus