“Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus meletakan jari telunjuk dibibirnya. “Saya akan berujar secara lahiryah…” tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri Demak Bintoro.” “Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.” “Ya, saya kira demikian.” “Baiklah,” “Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak Bintoro.
Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?” “Mengapa tuduhan seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut? Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.” “Tentu saja, sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya.
Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu, namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang mengajarkannya.” “Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut pandang umum.” “Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul menggunakan batang kecil yang seukuran.
Lihatlah bedug, bukankah itu pun gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?” “Benar,” “Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?” “Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.” “Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.” “Mungkin menurut pandangan khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar. “Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam Pangeran Modang. ‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta manunggaling kawula gusti.’ ‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap sama setiap orang.
Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk melukar syariat….’ “Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?” Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang. “Mereka berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat. “Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. ‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada tangga yang lebih atas…’ “Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala, “Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…” “Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat.
“Baiklah,” Sunan Kudus menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.” “Hehhhhmmmm…” Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh, lahirkanlah pembicaraan andika berdua!” Keduanya masih belum melahirkan setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup angin pegunungan. “Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya tertuju pada Sunan Kalijaga. “Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan secara merata.
Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu? Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’ “Mengapa mereka masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan. “Baiklah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap pemikiran saya?” “Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak, “…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam. “Andika berkata demikian, Syekh.
Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.” “Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami. Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan dan menyudutkan semisal saya dan para murid.” “Apa yang andika bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Perlukah saya bicara panjang lebar dengan andika, Pangeran?” “Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya, kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan andika akan lebih melantur kemana-mana.
Memutar balikan fakta, serta membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar terlepas dari hal yang dituduhkan.” “Baiklah, saya terima tantangan itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju. Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin menangkap saya dan menjatuhkan hukuman.
Untuk itu tangkaplah saya!” “Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan. “Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Bayat.
Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring. Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh. Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang.
Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihadapannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak panah. “Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo. “Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut. “Maksud andika?” “Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa tidak?” “Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.” “Bukankah itu soal mudah, Dento?” “Maksud aki?” “Taklukan lagi para rampok dan paksa orang-orang kampung, terutama para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…” “Saya kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah melakukan cara itu.
Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.” “Takutkah andika, Dento?” “Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?” “Tidakkah aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,” “Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?” “Tidak,”
"Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!” “Maksudnya?” dahi Kebo Benowo mengkerut. “Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…” “Ajaran hidup untuk mati itukah?” “Itulah!” “Bukankah mereka sudah menganggap mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki niat bergabung dengan kita?” “Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir, bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah masyarakat miskin dan bodoh?” “Benar,” “Mudah.”
“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang. “Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.” “Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?” “Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?” “Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika menantang!” geram Pangeran Modang.
“Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak tidak dengar?” “Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa artinya hukum manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba.
Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan.
“O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!” “Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?” “Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?” “Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam, Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti Jenar hingga terhuyung.
”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran, Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal sendiri, apalagi hakikat hidup.
“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang. “Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.” “Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?” “Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?” “Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika menantang!” geram Pangeran Modang.
“Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak tidak dengar?” “Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa artinya hukum manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba.
Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan.
“O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!” “Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?” “Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?” “Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam, Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti Jenar hingga terhuyung.
”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran, Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal sendiri, apalagi hakikat hidup.
Lantas tidakkah ingat bahwa Allah menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan, serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu ketika kita ber…” “Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar marah. Kepalan tangannya menghantam lambung. “Akhhh…” jerit lirih Syek Siti Jenar, merunduk. “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!” ketusnya.
"Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,” “Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!” bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang terpelajar, juga pejabat negara.
Beraninya bersikap tidak diam, malah membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!” Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?” memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut.
”Eeh…sihir apalagi yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.” berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat, benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?” ”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah tidak sanggup menarik simpati.
Tidak salahkah para wali memungut kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!” Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat, dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi. “Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya. “Ada apa ini?” dahinya dikerutkan.
“Kenapa Kakang Bayat meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat pesakitannya.
Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam. “Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut. “Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?” berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga".
"Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,” “Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!” bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang terpelajar, juga pejabat negara.
Beraninya bersikap tidak diam, malah membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!” Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?” memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut.
”Eeh…sihir apalagi yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.” berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat, benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?” ”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah tidak sanggup menarik simpati.
Tidak salahkah para wali memungut kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!” Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat, dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi. “Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya. “Ada apa ini?” dahinya dikerutkan.
“Kenapa Kakang Bayat meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat pesakitannya.
Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam. “Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut. “Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?” berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga".
--- SELESAI ---